Rabu, 25 Mei 2016

AWATARA KEEMPAT - NARASIMHA AWATARA


Nama lain : Narasinga, Narasingh, Narasimh
Arti Nama : Separuh Manusia (Nara) Separuh Singa (Simha)
Ras : Awatara Wisnu
Wujud : Manusia Berkepala Singa
Masa Kemunculan : Akhir Satya Yuga
Lawan Utama : Hiranyakasipu

Pada zaman ini, setiap orang berhak memuja Istadewata (Dewa Utama) –nya masing-masing. Ada yang memuja Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Bayu, Baruna, atau yang lainnya. Tetapi karena saudara lelakinya (Hiranyaksa) dibunuh oleh Wisnu beberapa tahun yang lalu, Hiranyakasipu menjadi sangat marah dan bersumpah tidak akan pernah memuja dewa yang namanya Wisnu, bahkan ia bersumpah akan melenyapkan Wisnu dan seluruh pemuja Wisnu dari kerajaannya.

Pemaksaan kehendak paling efektif dilakukan dengan anarki, hal itu dapat dilakukan kalau dirinya memiliki kesaktian. Maka Hiranyakasipu pun mulai bertapa dengan keras, memusatkan perhatiannya hanya kepada Bhatara Brahma selama bertahun-tahun. Brahma pun harus menepati hukum yang berlaku, di mana setiap makhluk yang melakukan tapa dengan sungguh-sungguh harus dikabulkan keinginannya.
Ketika Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan keinginannya, Hiranyakasipu menyatakan bahwa ia ingin diberikan kehidupan abadi yang tidak bisa mati dan tidak bisa dibunuh, Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain.

Tak hilang akal, Hiranyakasipu meminta anugrah agar dia tidak bisa dibunuh oleh dewa, manusia ataupun hewan, baik saat pagi siang maupun malam, baik saat ia berada di langit maupun berpijak di bumi, baik oleh api, air ataupun senjata, baik saat ia ada di dalam maupun luar kediamannya. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.

Setelah mendapatkan kekuatan itu, ia melarang semua orang di kerajaannya memuja dewa lain selain Siwa (dan Brahma), dan perintah itu juga hendak ia berlakukan juga bagi istrinya. Yang bernama Lilawati. Bhatara Indra yang tahu akan rencana Hiranyakasipu langsung mengevakuasi Lilawati dari istana Hiranyakasipu.

Ketika Bhatara Indra memberi perlindungan pada Lilawati, Lilawati tengah hamil tua dan beberapa waktu kemudian melahirkan seorang putra bernama Prahlada. Lilawati dan Prahlada tinggal dalam perlindungan dan ajaran Rsi Narada – brahmana pemuja Wisnu, salah satu dari tujuh Sapta Rsi.

Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Hiranyakasipu beberapa kali mencoba membujuk anaknya untuk meninggalkan Wisnu tapi Prahlada tidak mau. Mengetahui para dewa melindungi istri serta anaknya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri.

Kesal dengan sikap anaknya, Hiranyakasipu berkali-kali mencoba membunuh anaknya dengan berbagai metode : dijatuhkan dari tebing, ditebas, dipukuli, sampai dihantam dengan astra, tapi anehnya Prahlada ternyata tidak juga mati.
Setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu.
Saat ayah dan anak itu bertemu di istana Hiranyakasipu, Sang Raja Ashura menantang Prahlada.
Hiranyakasipu : “Katakan di mana aku bisa temukan Wisnu! Biar kutantang dia bertarung!”
Prahlada : “Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul.”

Mendengar jawaban itu, ia merasa diolok-olok dengan perkataan anaknya, hiranyakasipu sangat marah, mengamuk dan menghancurkan segala sesuatu didekatnya. Hiranyakasipu memukul salah satu pilar istananya hingga retak menjadi dua bagian. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan dari pilar yang seharusnya kosong, keluarlah sesosok manusia raksasa berkepala singa. Sosok ini memiliki empat tangan dan memanggul seekor naga di punggungnya. Dan sosok ini lah yang disebut Narasinga, Awatara Wisnu.
Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya sekaligus menghukum Hiranyakasipu atas perbuatannya.

Hiranyakasipu pun maju menyerang Narasinga. Pertarungan dua makhluk ini berlangsung sampai senja. Ketika senja mulai turun, Narasinga mencengkeram Hiranyakasipu, mendudukkannya di pangkuannya lalu mencabik-cabik perut Hiranyakasipu dengan kukunya. Tindakan ini membuat berkah dari Brahma tidak berlaku karena :
✔Narasinga bukan manusia, binatang, ataupun dewa. Ia adalah perwujudan ketiganya.
✔Hiranyaksipu dibunuh bukan saat pagi, siang, atau malam melainkan senja – peralihan dari siang menuju malam.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh dengan senjata, air, atau api melainkan oleh kuku Narasinga.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh di luar ataupun di dalam kediamannya, bukan pula di darat atau udara. Ia dibunuh di pangkuan Wisnu.

Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana.
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.

• Naga yang dipanggul Narasinga adalah Ananta Sesa. Pada kesempatan-kesempatan berikutnya Ananta Sesa setidaknya dua kali turut mendampingi penjelmaan Wisnu ke dunia, yakni sebagai Laksmana – saudara Rama – dan Baladewa – saudara Kresna.
• Narasinga adalah awatara Wisnu paling buas dan ‘brangasan’.

Dalam satu versi diceritakan : setelah membunuh Hiranyakasipu, ia lepas kontrol dan tak terkendali. (Aksi Narasinga baru berhenti setelah Siwa turun ke dunia dan bertempur melawan Narasinga)
Pembahasan selanjutnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar