Rabu, 25 Mei 2016

AWATARA KEENAM - PARASURAMA AWATARA

AWATARA KEENAM – PARASURAMA AWATARA

Nama lain : Rambhadra, Ramabargwa, Bregupati, Rama Bhargawa, Ramaparasu
Arti Nama : Rama Yang Membawa Kapak (Ramaparasu), Rama Sang Keturunan Maharsi Bhregu (Rama Bhargawa).
Ras : Manusia Awatara (Awatara Wisnu), Chiranjiwin (Kaum Abadi).
Masa Kemunculan : Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga
Senjata : Parasu (Kapak) dan Busur Vijaya
Pasangan : Dharini
Profesi : Brahmana
Lawan Utama : Warna Kesatria, terutama Arjuna Sasrabahu.

Ada seorang Rsi yang menjadi bagian dari tujuh Sapta Rsi bernama Jamadagni. Jamadagni telah memiliki empat putra namun suatu ketika istrinya hamil putra kelimanya, Jamadgani dan istrinya, Renuka, mendapat pesan dari Batara Siwa bahwa Batara Wisnu akan menitis kepada putra kelima mereka. Putra kelima mereka ini dinamai Rama atau Ramabhadra.

Sebagai istri brahmana yang tergabung dalam Sapta Rsi, Renuka memiliki kemampuan untuk memadatkan tanah liat yang masih basah dan belum dibakar menjadi pot tembikar untuk menampung air. Namun suatu saat hendak mengambil air di sungai, ia terpesona melihat sekawanan gandarwa , satu pikiran untuk ‘serong’ dengan para gandarwa langsung melintas di pikiran Renuka. Akibatnya kendi air di tangannya langsung meleleh dan larut dalam air. Renuka pun ketakutan dan tidak berani pulang karena ia tahu suaminya pasti akan marah besar padanya.

Jamadagni tidak perlu waktu lama untuk tahu perbuatan istrinya itu. Dalam meditasinya, lintasan pikiran Renuka masuk ke dalam pikirannya. Dengan kekuatannya, Sang Rsi memaksa sang istri pulang lalu memanggil putra sulungnya dan menyodorkan sebuah kapak kepadanya. “Bunuh ibumu dengan kapak itu!” kata Jamadagni.

Sang putra sulung ketakutan dan menolak perintah sang ayah, dan sebagai akibatnya ia dikutuk menjadi batu. Putra kedua, ketiga, dan keempat juga dipanggil dan diberi perintah serupa, dan semuanya menolak. Akhirnya empat putranya pun berubah menjadi batu. Sampai akhirnya Rama mengambil kapak itu dan tanpa ragu memenggal kepala ibunya.

Jamadagni terkesan oleh kepatuhan Rama sehingga menawarinya untuk mengabulkan dua permintaan Rama. Rama hanya meminta sang ayah menghidupkan kembali ibu dan empat kakaknya. Kemudian dengan senang hati Jamadagni mengabulkannya.

***
Meskipun merupakan awatara Wisnu, Rama dan ayahnya termasuk brahmana sekte Shaivanism (Siwaisme) yang lazim hidup bertapa, menyendiri di tengah hutan atau pegunungan, makan seadanya dari hutan, dan melumuri tubuh mereka dengan abu. Ketika sudah cukup usia, Rama meninggalkan rumahnya untuk bermeditasi pada Siwa. Setelah melakukan tapa selama bertahun-tahun Siwa datang menemuinya, memberinya sebuah kapak yang tak dapat dihancurkan oleh apapun bernama Parasu (Parashu). Lalu memberi perintah pada Rama untuk membebaskan Ibu Bumi dari penjahat, orang-orang serakah, iblis, dan orang-orang yg meninggalkan ajaran Dharma.

Kemudian selama 21 hari Siwa menantang Rama untuk bertarung. Selama 21 hari itu pula murid dan guru itu saling tebas dan serang. Siwa dengan trisulanya, Rama dengan Parasunya. Di hari ke-21 Rama berhasil melukai dahi Siwa dengan kapaknya dan pertarungan pun dihentikan. Siwa sangat puas dengan kecakapan muridnya itu dan sejak saat itu menamai diri-Nya ‘Khanda-parshu’ (Yang dilukai oleh kapak) sebagai wujud penghormatan Siwa pada Rama. Nama Rama sendiri kemudian berubah menjadi Parasurama.

****
Ada seorang raja dari ras Yadu, bernama Kartavirya Arjuna atau Arjuna Sasrabahu – Arjuna yang bertangan seribu. Raja ini menguasai wilayah Mahespati (atau Halaya di versi India). Awalnya raja ini adalah raja yang bijak dan perkasa. Raja ini bahkan sempat mengalahkan Rahwana muda dan memaksa Rahwana untuk tidak mengekspansi negara lain lagi.

Tapi kemudian raja ini menjadi ‘gila hormat’ dan merasa tak ada satupun yang lebih sakti dari dirinya. Dalam kunjungannya ke asrama (pertapaan) Rsi Jamadagni, Sang Raja disuguhi aneka hidangan nikmat ala istana oleh Sang Rsi dalam kuantitas yang tidak main-main. Penasaran dari mana Sang Rsi mendapatkan hidangan sebanyak dan semewah itu padahal hidupnya amat sederhana, Jamadagni mengatakan bahwa ia mendapatkannya melalui perantaraan sapi Kamadhenu (Sapi ini adalah sapi pengabul segala kehendak yang keluar pada saat Samudra Manthan yang diberikan oleh Batara Wisnu (atau Indra, tergantung versinya) kepadanya. Arjuna Sasrabahu menginginkan sapi itu. Ia hendak membeli sapi itu, tapi Jamadagni menolaknya. Sang raja terus membujuk dan menaikkan tawarannya tapi Jamadagni tetap kukuh bahwa sapi pemberian Bhatara Wisnu itu tidak dijual.

Karena kesal tawarannya ditolak, Sang Raja lalu membawa sapi itu secara paksa dari asrama Rsi Jamadagni. Dan tak berapa lama kemudian Parasurama kembali ke pertapaan ayahnya dan mendapati sapi Kamadhenu tak ada lagi di rumah ayahnya. Ketika Parasurama bertanya ke mana perginya sapi itu, ayahnya menjawab bahwa Raja Arjuna Sasrabahu membawanya. Marah atas perilaku Sang Raja yang seenaknya, Parasurama berlari ke istana Sang Raja dengan niat merebut kembali sapi suci itu.

Arjuna Sasrabahu tidak mau mengembalikan sapi itu begitu saja dan menantang Parasurama untuk bertarung. Parasurama memanah satu-demi-satu seribu tangan Arjuna lalu memenggal kepala Sang Raja kemudian membawa pulang sapi Kamadhenu ke pertapaan ayahnya. Ayahnya senang sapinya kembali, tapi melihat ada noda darah di kapak anaknya, Jamadagni berkata, “Tidak layak Brahmana dikontrol oleh amarah dan kesombongan. Sucikan dirimu segera, Rama.”

Maka Parasurama pun kembali meninggalkan rumahnya, mengasingkan diri selama satu tahun untuk menyucikan diri. Di pengasingan ini, Indra menghadiahinya busur Wijaya sebagai hadiah atas keberaniannya menantang Arjuna Sasrabahu. Tapi di saat yang sama, anak-anak Arjuna Sasrabahu yang menemukan jenazah ayah mereka menjadi luar biasa marahnya. Mereka segera menyerbu pertapaan Jamadagni dan membunuh Sang Rsi dengan menembakkan ratusan anak panah. Jamadagni pun tewas. Anak-anak Arjuna Sasrabahu pun memenggal kepala Jamadagni dan membawanya ke istana mereka sebagai tropi kemenangan.

Ketika Parasurama kembali dari pengasingannya, ia menemukan ibunya tengah berduka dan meratapi kematian ayahnya sambil memukul-mukul dadanya sebanyak 21 kali. Di samping ibunya, teronggok jasad Jamadagni yang tanpa kepala. Parasurama pun menjadi sangat sakit hati atas kepongahan warna (kasta) kesatria dan bersumpah akan membantai seluruh kaum kesatria dalam pembantaian yang akan dia lakukan sebanyak 21 kali keliling dunia.

***
“Pada masa antara Treta dan Dwapara Yuga, Parasurama, sang pejuang terhebat, terusik oleh ketidaksabarannya menyaksikan segala kepongahan kaum kesatria, berulang kali membantai kaum kesatria. Ketika ia selesai dengan aksi pembantaiannya, ia telah menciptakan Samanta-panchaka, lima danau besar berisi darah.

Parasurama membantai seluruh raja yang ada di dunia ini tanpa pandang bulu. Ia tidak peduli apakah raja-raja ini masih muda atau sudah tua, apakah raja ini punya pewaris atau tidak punya pewaris, atau apakah raja ini dicintai rakyatnya atau malah dibenci rakyatnya. Pokoknya nyaris tidak ada dinasti kerajaan yang ‘selamat’ dari amukan Parasurama. 

Korban pertama dari perjalanan Parasurama ini adalah anak-anak Arjuna Sasrabahu. Setelah membunuh anak-anak ‘kurang ajar’ ini ia membawa kembali kepala ayahnya ke pertapaan dan melakukan upacara pembakaran jenazah lalu melanjutkan perjalanannya.

Setelah 21 kali mengelilingi dunia, Parasurama mengadakan sebuah upacara agung yang intinya menyatakan bahwa raja-raja yang tersisa wajib menyerah dan menyatakan kesetiaan kepada Parasurama. Yang tidak mau, dipersilakan mengalahkan Parasurama. Sebagian raja tidak mau mengakui seorang brahmana sebagai Maharaja mereka, dan akhirnya tewas saat bertarung dengan Parasurama. Raja-raja yang tersisa akhirnya menyatakan diri sebagai bawahan Parasurama. Parasurama sendiri kemudian membagi-bagikan wilayah taklukannya di antara para brahmana sebelum akhirnya mengundurkan diri untuk bertapa kembali di Pegunungan Mahendra.

***
Ada satu dinasti yang selamat dari amukan Parasurama, yakni Dinasti Surya (Kerajaan Ayodhya). Entah bagaimana dinasti ini tidak kena utak-atik dari Parasurama.
Hingga akhirnya Parasurama dipertapaannya mendengar suara gemuruh yang maha dasyat menggelegar saat seorang pangeran dari Kerajaan Ayodhya bernama Rama mematahkan busur Haradhanu milik Siwa yang dimiliki oleh Raja Mithila, Janaka, saat tengah mengadakan sayembara untuk mencari suami bagi putri angkatnya Sita.

Parasurama langsung naik darah. Ia menyangka ada lagi kaum kesatria yang telah lancang sok pamer kekuatan di dunia ini. Langsung saja ia turun gunung dan menghadang Rama yang sedang dalam perjalanan pulang ke Ayodhya bersama Sinta, adiknya Laksmana, dan seorang Sapta Rsi Wiswamitra. Wiswamitra memohon agar Parasurama kembali lagi ke pertapaannya dan berusaha keras meyakinkan Parasurama bahwa Rama sama sekali tidak punya maksud ‘pamer kekuatan’ hanya saja busur Haradhanu milik Siwa tiba-tiba patah saat direntangkan oleh Rama.

Parasurama tidak percaya, ia melemparkan busur Wisnudhanu, busur yang dimilikinya sebagai awatara Wisnu kepada Rama dan menantangnya untuk menarik busur itu. Rama menarik busur itu tanpa kesulitan sementara kapak Parasurama tiba-tiba menjadi sangat berat. Parasurama pun langsung sadar bahwa dia bukan lagi awatara Wisnu. Rama sudah mengambil alih posisinya. Karena itu ia pun undur diri dan masuk kembali ke dalam hutan. Busur milik Wisnu itu diberikan pada Rama.

Parasurama adalah awatara Wisnu paling unik karena ia adalah Chiranjiwin (kaum abadi). Ia terus hidup sampai era Dwapara Yuga, di mana kisah Mahabaratha akan terjadi. Di masa ini ia menjadi guru dari seorang pangeran Wangsa Kuru bernama Bhisma. Di masa ini kebenciannya terhadap kaum kesatria sudah hilang. Tapi ada satu masalah yang kemudian membuat hubungan guru-murid ini retak.

Permasalahannya ... Bhisma pernah dengan sengaja memenangkan sayembara memperebutkan putri dari kerajaan seberang yakni Amba, Ambalika, dan Ambika untuk diperistri adiknya.
Hingga akhirnya Ambika meminta bantuan dari Parasurama. Karena Bhisma sudah "menghina"nya.
Parasurama  dan Bhisma saling baku hantam selama 23 hari dan pada akhirnya Bhisma yang menang (Bhisma saat itu adalah manusia awatara dari Dyaus sementara Parasurama sudah bukan lagi manusia awatara). Kesal dengan perilaku Bhisma, Parasurama bersumpah tidak akan pernah mau lagi mengajar murid dari golongan kesatria.

***
Drona, seorang brahmana yang kelak akan menjadi guru para Kurawa dan Pandawa suatu saat bertemu dengan Parasurama dalam sebuah perjalanan. Drona menyatakan bahwa ia butuh pengetahuan tentang segala jenis senjata yang diketahui Parasurama. Karena Drona seorang brahmana, Parasurama akhirnya mengajari Drona segala jenis teknik beladiri dan penggunaan senjata baik senjata biasa atau astra (Brahmastra terutama). Ia juga memberi Drona semua senjata koleksinya kecuali kapak Siwa dan busur Wijaya dari Indra.

***
Radheya, putra sulung Kunti anugrah Bhatara Surya sekaligus kakak sulung Pandawa, diadopsi oleh kusir kereta kerajaan Hastina. Memiliki bakat alam sebagai pemanah handal, ia sempat minta diajari memanah oleh Drona tapi Drona menolak karena sudah terikat sumpah pada Bhisma dan Tua-Tua Hastina bahwa ia hanya akan mengajari para pangeran Hastina. Kesal karena penolakan Drona, Radheya mengembara mencari Parasurama dengan menyamar sebagai seorang brahmana. Parasurama senang sekali menerima ‘brahmana’ Radheya sebagai muridnya. Ia menganggap Radheya adalah muridnya yang paling cerdas dan cepat belajar. Tapi semua itu berubah saat suatu ketika Parasurama tengah tidur berbantalkan pangkuan Radheya . Saat itu seekor kalajengking menyengat kaki Radheya sehingga kaki Radheya berdarah dan darahnya menetes ke wajah Parasurama.

Parasurama terbangun dan langsung menginterogasi Radheya. Mulanya Radheya tidak mengaku tapi ketika Parasurama mendesak, ia mengaku bahwa ia memang bukan Brahmana.

Parasurama menghardik, “Cuma Kesatria yang bisa menahan rasa sakit disengat kalajengking seperti itu!”

“Guru, saya bukan kesatria. Saya hanyalah Suta, anak kusir.”

“Ah, sama saja! Kau menipuku! Karena kau sudah menipuku untuk mendapatkan pengetahuanku, kelak semua senjata dan kesaktianmu tak akan berguna di saat-saat kau sangat membutuhkannya!”

Tapi meskipun Parasurama marah besar pada Radheya, ia memberi Radheya pusakanya yang terakhir : Busur Wijaya dan astra bernama Bhagavastra.

Kutukan Parasurama terbukti. Menjelang dan di saat bertarung dengan Arjuna, kesaktian Karna menghilang satu demi satu. Dia bahkan tak bisa memanggil satupun astra miliknya di saat-saat terakhir. Karna sendiri akhirnya tewas terpenggal panah Pasopati Arjuna.

***
Diceritakan dalam Wisnupurana, Awatara terakhir Wisnu yakni Kalki Awatara akan berguru pada Parasurama guna mendapatkan senjata dari Siwa untuk mengalahkan Iblis Kali.

***
Parasurama juga ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan. Ia lebih terkenal dengan sebutan Ramabargawa. Selain itu ia juga sering dipanggil Jamadagni, sama dengan nama ayahnya.

Ciri khas pewayangan adalah jalinan silsilah yang saling berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah tentang Ramabargawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu antara lain menyebut tokoh ini sebagai keturunan Batara Surya. Ayahnya bernama Jamadagni merupakan sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati. Adapun Kartawirya adalah ayah dari Arjuna Sasrabahu alias Kartawirya Arjuna. Selain itu, Jamadagni juga memiliki sepupu jauh bernama Rsi Gotama, ayah dari Subali dan Sugriwa.

Dalam pewayangan dikisahkan Ramabargawa menghukum mati ibunya sendiri, yaitu Renuka, atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah karena Renuka telah berselingkuh dengan Citrarata raja Kerajaan Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan kemarahan dan rasa benci luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria.

Setelah menumpas kaum kesatria, Ramabargawa merasa jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan dunia. Atas petunjuk dewata, ia akan mencapai surga apabila mati di tangan titisan Wisnu. Adapun Ramabargwa versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan menitis kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh Ramabargawa.

Setelah lama mencari, Ramabargawa berhasil menemui Arjuna Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah kehilangan semangat hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri, dan istrinya, yakni Dewi Citrawati. Dalam pertarungan tersebut, Ramabargawa justru malah menewaskan Arjuna Sasrabahu.

Ramabargawa kecewa dan menuduh dewata telah berbohong kepadanya. Batara Narada selaku utusan kahyangan menjelaskan bahwa Wisnu telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Rama putra Dasarata. Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama dewasa. Beberapa tahun kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Rama yang sedang dalam perjalanan pulang setelah memenangkan sayembara Sinta. Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut, Ramabargawa akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar Batara Ramaparasu.

Pada zaman berikutnya, Ramaparasu bertemu awatara Wisnu lainnya, yaitu Kresna ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian utusan para Pandawa menuju Kerajaan Hastina. Saat itu Ramaparasu bersama Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna untuk ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam naskah Kakawin Bharatayuddha dari zaman Kerajaan Kediri.

Di Bali diceritakan bahwa ia dan Arjuna Sasrabahu sama-sama merupakan titisan Wisnu.

***
Dalam versi india mengisahkan,
Saat Maharsi Narada berkunjung ke Vaikuntha dan tanpa sengaja menemukan Cakram Sudarshana dengan Bhatara Wisnu sedang berselisih paham. Sang cakram yang memiliki kesadaran sendiri itu bilang bahwa Wisnu takkan bisa mengalahkan Asura manapun tanpa dirinya dan dirinyalah yang selama ini menjadi kekuatan Wisnu, tanpa dirinya Wisnu bukan siapa-siapa.

Tampaknya Wisnu menjadi agak sebal dengan tingkah senjatanya itu dan akhirnya menyuruhnya pergi ke dunia dan menitis menjadi seorang raja bernama Arjuna Sasrabahu. Wisnu sendiri berjanji kelak akan menyusul dan menitis kepada seorang putra brahmana. Setelah itu mereka akan baku hantam untuk menyelesaikan perdebatan mereka.

Arjuna Sasrabahu memang akhirnya bertemu Parasurama dan bertempur yang menyebabkan kekalahan bagi Arjuna Sasrabahu.

***
• Di Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam dan Kamboja, Parasurama bukanlah Awatara Wisnu yang populer. Apalagi di Nusantara – yang raja-rajanya ‘agak’ tidak mau dikritik dan disalahkan. Karena itu di Nusantara, Awatara keenam Wisnu diubah. Bukan Parasurama, tapi Arjuna Sasrabahu.
• Model pengakuan Awatara Keenam Wisnu adalah Arjuna Sasrabahu juga terasa di Bali, di mana ada kisah yang menceritakan baik Arjunasasrabahu maupun Parasurama sama-sama adalah awatara Wisnu – mengambil pendekatan seperti Nara dan Narayana, rsi kembar yang sama-sama Awatara Wisnu dalam versi 22 Awatara.
• Parasurama adalah awatara Wisnu paling ‘brangasan’ nomor dua setelah Narasinga.
• Parasurama dipercaya masih hidup sampai saat ini.
• Pasangan Parasurama yang bernama Dharini tidak pernah diceritakan mendampingi Parasurama saat Parasurama menjadi guru Bhisma, Drona, dan Karna. Kemungkinan besar istri Parasurama ini sudah meninggal lama sekali sebelum peristiwa Mahabaratha atau mungkin sebelum Ramayana.
• Setelah tak lagi menjadi awatara Wisnu, kekuatan Parasurama jauh berkurang meski masih cukup berbahaya untuk dihadapi para kesatria manapun yang ada di zaman itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar