Rabu, 25 Mei 2016

AWATARA KEDUA - KURMA AWATARA

Ras : Awatara Wisnu
Wujud : Kura-Kura Raksasa
Masa Kemunculan : Satya Yuga

Pada mulanya Dewata, baik Adhitya maupun Astawasu, serta para Ashura adalah makhluk fana. Mereka bisa mati dan terbunuh kapan saja dalam medan perang. Masalah mulai timbul ketika suatu ketika jumlah Ashura jauh melebihi para Dewata. Dewata yang kalah jumlah terpaksa mundur dari Swargaloka dan mengungsi ke Brahmaloka. Di Brahmaloka, Brahma yang mendengar keluh-kesah para Dewata menyatakan dirinya tidak bisa membantu banyak dan menyarankan para Dewata beranjak ke Vaikuntha, meminta bantuan Wisnu.

Wisnu mengatakan bahwa jauh di bawah Kshirsagar – lautan susu – terdapat Amerta (Amrta / Amrita) – air keabadian. Dewata memang memiliki Amerta, tapi jumlahnya amat sedikit. Mereka harus mendapatkan Amerta tambahan supaya mereka bisa menang bertempur melawan Ashura pada masa-masa mendatang. Dengan Amerta tambahan ini, Dewata akan menjadi makhluk abadi. Tapi untuk mendapatkan Amerta yang berada di dalam lautan itu, kekuatan Dewata semata tidak cukup. Dewata harus meminta bantuan pada dua pihak : Para Ashura yang dipimpin Mahabali dan Raja Naga Basuki.

Jadi pertama-tama para dewa datang kepada saudara sepupu mereka, Ashura, menawarkan tawaran ‘gencatan senjata’ untuk sementara guna menyukseskan misi mengaduk Kshirsagar dan mengambil Amerta. Kebanyakan Ashura tidak setuju, tapi pemimpin mereka, Mahabali, setuju untuk bekerjasama.

Para dewa kemudian beranjak menemui Basuki, dan menawarkan sedikit Tirta Amerta sebagai imbalan kepada Basuki kalau Basuki bersedia menjadi tali pemutar Gunung Mandarachala (atau Gunung Meru). Basuki – sebagaimana kebanyakan naga yang mendambakan keabadian – setuju-setuju saja dengan usulan itu. Tapi ia baru mau datang kalau Dewata dan Ashura sudah selesai mencabut Gunung Meru.

Mencabut gunung setinggi 84,000 Yojana (sekitar 1.082.000 km – 85 kali diameter bumi) ini ternyata bukan perkara enteng. Meskipun seluruh Dewata dan Ashura sudah berusaha mencabut gunung ini, tetap saja mereka kesulitan. Di tengah keputus asaan ini, para Dewata minta bantuan pada Wisnu untuk turut membantu. Jadi Wisnu turun dan turut membantu dua pihak ini mencabut gunung ini. Lalu timbul satu masalah lagi, gunung ini selalu tenggelam setiap kali hendak dibawa ke titik pengeboran. Wisnu pun memanggil Garuda untuk membantu mereka memanggul gunung itu.

Wisnu sendiri merubah dirinya menjadi sosok kura-kura raksasa – yang disebut Kurma – dan memerintahkan Garuda meletakkan gunung itu di punggungnya setelah itu ia menyuruh Sang Garuda pergi dari tempat itu karena Basuki tidak akan mau datang kalau ia melihat Garuda ada di sana (Garuda dan Naga selalu bermusuhan). Kurma membawa Gunung Meru ke titik yang telah ditentukan lalu Basuki pun datang. Ia melilitkan tubuhnya pada gunung itu dan para Dewata mengambil posisi di bagian kepala Basuki.

Tapi para Ashura curiga bahwa jika kepala Basuki terlalu dekat dengan Dewata, dua pihak ini mungkin akan merencanakan sesuatu yang tidak-tidak pada mereka. Maka mereka pun bersikeras mengambil posisi di bagian kepala Basuki. Wisnu meminta para Dewata ‘mengalah’. Mahabali curiga karena para Dewata tidak melawan, tapi rakyat dan menteri-menterinya sudah terlanjur ambil posisi. Dewata akhirnya memegang ekor Basuki.

Kecurigaan Mahabali jadi kenyataan. Setiap beberapa putaran, akibat cengkeraman para Ashura yang terlalu keras, Basuki selalu memuntahkan upas (racun / bisa) yang membuat para Ashura terbakar dan kemudian mati. Mahabali kecewa namun sudah terlambat bagi dirinya dan rakyatnya untuk berganti posisi.

Proses pengeboran itu menghasilkan beberapa harta berharga yang dibagi dua antara para Dewata dan Ashura :
• Laksmi, dewi keberuntungan, memilih Wisnu sebagai pasangannya.
• Apsara, para bidadari. Nama-nama mereka antara lain Rambha, Menaka, Punjisthala, Urvasi, Thilothamai, dan lainnya. Sebagian dari mereka berpasangan dengan para Dewata, sebagian lagi berpasangan dengan Gandarwa.
• Varuni atau Sura, dewi pembuat alkohol, menjadi pasangan dari Baruna (Varuna) – dewa samudra.
• Kamadhenu atau Surabhi, sapi pengabul segala kehendak – diambil oleh Wisnu dan kelak akan diberikan kepada para rsi pertapa.
• Airavata, dan beberapa ekor gajah, diambil oleh Indra.
• Uchhaishravas, kuda paling cepat di muka bumi. Diberikan pada para Ashura.
• Kaustubha, permata paling berharga di dunia, dikenakan oleh Wisnu.
• Parijat, bunga yang takkan pernah layu – dibawa ke Indraloka oleh para dewa.
• Astra-astra berbentuk panah – diambil oleh para Ashura.
• Chandra, dewa bulan.
• Dhanvantari, dokter para dewa. Ia membawa Amerta bersama dengannya.
• Halahala, racun mematikan yang muncul ketika proses pengadukan. Ditelan oleh Siwa dan Nandi. Namun sebagai akibatnya, tenggorokan Siwa berubah menjadi biru terbakar.
• Shankha, terompet kerang Wisnu
• Jyestha – dewi ketidakberuntungan
• Sebuah payung yang diambil Baruna
• Anting-anting yang kelak diberikan pada Aditi, oleh putranya, Indra
• Kalpavriksha atau Pohon Kalpataru.
• Nidra atau kemalasan.
• Uchhaishravas kelak akan ditunggangi oleh Arjuna dalam Mahabaratha.
• Siwa pada awalnya tidak mau ikut campur dalam Samudra Mathan, sampai ketika Halahala keluar, barulah ia mau turun tangan.
• Selain Adhitya, Prajapati, dan Astawasu, pihak Dewata juga dibantu oleh beberapa Rsi.
• Mahabali adalah Ashura paling cerdas dan mau berpikir panjang dibandingkan kaumnya yang lain. Namun, meski ia diangkat menjadi raja, kaumnya sering tidak mau mendengarkannya.

Dikarenakan proses pembagiannya agak ‘kurang adil’. Dewata mendapat jatah lebih banyak daripada Ashura. Karena itulah para Ashura menuntut supaya Amerta diberikan pada mereka karena Dewata sudah mengambil bagian lebih banyak daripada mereka.

Kemudian para Dewata kalah argumen dan akhirnya Amerta diberikan pada Ashura. Tapi itu tidak berlangsung lama. Wisnu berhasil merebut kembali Amerta itu dengan mengubah dirinya menjadi sosok wanita cantik bernama Mohini.

AWATARA KESEMBILAN – BUDDHA AWATARA

Nama asli : Siddharta Gautama
Nama lain : Sang Sujata, Sang Bhagava, Sang Tathagata, Buddha Sakyamuni
Arti Nama : Keturunan Gautama Yang Tujuannya Telah Tercapai (Siddharta Gautama), Orang Bijak dari Sakya (Sakyamuni), Ia Yang Telah Datang (Tathagata), Yang Agung (Bhagava), Yang Maha Tahu (Sujata), Yang Tercerahkan (Buddha).
Ras : Manusia (Dinasti Shakya), Manusia Awatara (Awatara Wisnu, versi Hindu), Buddha (Yang Tercerahkan, versi Buddhisme)
Masa Kemunculan : Kali Yuga.
Pasangan : Yasodhara
Anak : Rahula
Profesi : Pangeran Kapilawastu => Rahib, Pendiri Buddhisme
Lawan utama : Mara dan Devadatta

“Aku seorang yang telah melampaui segalanya, pengenal segalanya, Tak ternoda di antara segalanya, meninggalkan segalanya. Terbebaskan dalam lenyapnya keinginan.”
(Siddharta Gautama)

Awatara Wisnu yang kesembilan dalam daftar Dasa Awatara adalah seorang yang disebut Buddha. Kata “Buddha” ini kemudian merujuk kepada seorang bekas pangeran Kapilawastu bernama Siddharta Gautama yang kemudian dikenal luas karena mendirikan Buddhisme. Awatara satu ini memicu banyak ‘kontroversi’, baik saat beliau masih hidup maupun saat beliau sudah mangkat. Buddha Awatara juga awatara Wisnu yang berusia paling pendek di antara awatara lainnya (hanya 80 tahun).

Dalam pembahasan ini akan menggunakan riwayat 'gabungan' baik dari sudut pandang Buddhisme maupun Hinduisme. Di Buddhisme, Buddha pada awalnya hanya manusia biasa yang kemudian mencapai pencerahan. Dewa-dewa ada, tapi mereka benar-benar entitas yang terpisah dengan para Buddha. Sementara di Hinduisme, Buddha adalah awatara Wisnu.

(Pembahasan tentang Buddha Awatara ini mungkin agak sedikit ‘kontroversial’ jadi mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.)

Siddharta adalah putra Ratu Maha Maya dan Raja Suddhodana dari Kerajaan Kapilawastu. Saat mengandung Siddharta, Ratu Maya sudah berusia 45 tahun dan selama masa kehamilannya, sang ratu sempat bermimpi dirinya ditemui seekor gajah putih yang kemudian merasuk ke dalam rahimnya. Para brahmana kemudian dipanggil untuk mengartikan mimpi itu dan mereka berpendapat bahwa bayi yang dikandung sang ratu kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha (yang tercerahkan).

Ketika usia kandungannya sudah mencukupi (konon Ratu Maya mengandung Siddharta selama 10 bulan), Ratu Maya pulang ke rumah orangtuanya di Devadaha – sebagaimana tradisi pada masa itu lebih menyukai seorang calon ibu melahirkan di rumah orangtuanya. Di tengah jalan mereka beristirahat di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) dan saat itu Ratu Maya turun dari tandu dan berjalan-jalan di sekitar taman.

Tiba-tiba perut sang ratu berkontraksi dan para dayang segera membuat tirai di sekeliling sang ratu kemudian lahirlah Siddharta. Konon Siddharta lahir saat sang ratu dalam posisi berdiri, bisa langsung berjalan dan berbicara.

Dan konon pula, bersamaan dengan kelahiran Siddharta, juga lahir pula :
• Yasodhara, yang kelak menjadi istri Siddharta,
• Ananda [Anak dari Amitodana, saudara termuda Raja Suddhodana], yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha selama 25 tahun,
• Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha,
• Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha,
• Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilawastu,
• Pohon Bodhi, yang kelak akan menjadi tempat bagi Pangeran Siddhattha untuk mendapatkan Penerangan Agung,

Ratu Maya sendiri wafat tujuh hari setelah persalinannya.

Sebagai pengganti Maha Maya, Suddhodana kemudian menikahi adik Maya yang bernama Prajapati Gotami. Prajapati inilah yang kemudian menjadi sosok ‘ibu’ yang mengasuh Siddharta. Pada masa balita ini, sejumlah pertapa datang berkunjung ke istana Suddhodana, salah satunya bernama Asista. Brahmana Asista kemudian meramalkan bahwa Pangeran Siddharta takkan menjadi raja. Setelah menyaksikan orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang Brahmana/Pertapa, Siddharta akan meninggalkan istana dan menjadi rahib.

Suddhodana ketakutan setengah mati mendengar ramalan itu. Meskipun dengan Prajapati ia memiliki putra bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari, ia tetap lebih suka Siddharta yang jadi raja. Maka Suddhodana memerintahkan Siddharta dijaga dan diasuh secara ketat. Ia tak boleh menyaksikan ‘penderitaan’ dan setiap kali Siddharta keluar istana, Raja akan memerintahkan rakyat untuk membersihkan jalan, memakai pakaian terbagus, dan bersorak-sorai gembira seolah tidak ada masalah (walau mungkin mereka punya masalah).

Dalam masa-masa remajanya, Siddharta banyak bergaul dengan binatang-binatang di sekitar istana. Sifatnya yang simpatik dan welas asih membuat binatang-binatang tidak takut pada Siddharta.

Siddharta juga pernah menyelamatkan seekor ular yang hendak dipukul seorang anak kota serta menyelamatkan seekor angsa yang sempat kena panah sepupunya : Devadatta.

“Dalam kehidupanku yang sudah-sudah, aku dan Yasodhara selalu menjadi pasangan.”
(Siddharta Gautama)

Perenungan pertama Siddharta tentang penderitaan adalah ketika ia melihat semacam rantai makanan. Semut dimakan kadal, tiba-tiba ular memakan kadal, baru sebentar juga, ada burung elang menyambar si ular. Dari situ Siddharta mulai berpikir tentang kesenangan makhluk hidup yang rata-rata cuma sesaat.

Sejak saat itu Siddharta sering ditemukan para dayang tengah duduk bersila, bermeditasi, dan tidak terganggu dengan keriuhan lingkungan sekitarnya. Raja Suddhodana yang dilapori hal itu tidak ingin anaknya berpikir hal-hal yang mendalam mengenai kehidupan. Ia ingat bahwa orang-orang bijak (Bramana/Pertapa) telah memprediksikan bahwa anaknya akan meninggalkan istana dan menjadi seorang rahib.

Jadi, untuk mengalihkan perhatiannya, sang raja kemudian mendirikan sebuah istana yang megah. Raja memerintahkan untuk membuat tiga kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Upala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma), dan satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika).

Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang terkenal sebagai penghasil barang-barang bermutu terbaik. Tari dan musik dimainkan tanpa henti di istana itu. Tetapi itu tidak menghentikan Pangeran Siddharta dari pemikiran mengenai penderitaan dan ketidakbahagiaan yang terjadi disekitarnya.

Pada usia 16 tahun, Raja Suddhodana menyarankan Siddharta untuk mencari istri. Kebetulan di Kerajaan Koliya, ada sayembara untuk memperebutkan Putri Yasodhara. Siddharta memenangkan sayembara memanah, dan meruntuhkan sebuah pohon dengan sabetan pedang. Tapi ada 2 orang lagi yang bertanding dengannya di sayembara akhir : menunggangi kuda liar. Dua lawannya jatuh terjerembab karena kuda itu terus berontak, tapi dengan kelemahlembutannya, Siddharta berhasil menjinakkan kuda itu. Yasodhara pun resmi menjadi pasangannya.

Yasodhara dan Siddharta pun menikah, tapi hati Siddharta tetap saja gundah setiap kali memikirkan tentang penderitaan hewan-hewan (rantai makanan) yang pernah ia jumpai. Karena itu ia kemudian memutuskan keluar istana dengan sembunyi-sembunyi bersama Channa – kusirnya, dan di luar sana (tanpa persiapan khusus ayahnya) ia melihat empat tanda. Ia melihat orangtua yang jalannya terbungkuk-bungkuk dengan menggunakan tongkat dan Siddharta pun mulai ketakutan ketika Channa menjelaskan bahwa tidak ada obat untuk mencegah usia tua. Ia kemudian bertemu seorang pria bertubuh kurus kering yang terbaring di jalanan dan mengeluh sakit, Channa menjelaskan bahwa pria itu tengah sakit dan sakit selalu akan datang pada tiap orang tak terkecuali pada raja atau seorang pangeran macam Siddharta sekalipun. Kemudian mereka bertemu serombongan orang yang tengah memikul tandu jenazah dan kembali Siddharta menanyakan apa tidak ada obat untuk kematian, Channa kembali menjawab bahwa kematian itu tak terelakkan. Setelah itu Siddharta bertemu dengan seorang brahmana dan Siddharta dibuat terpesona oleh ketenangan sang brahmana menghadapi ‘dunia nyata’. Dalam hati Siddharta mulai memupuk keinginan untuk menjadi rahib.

Siddharta kemudian kembali ke istana, tapi keputusannya untuk menjadi rahib harus ia urungkan karena Yasodhara dikabarkan tengah hamil. Ketika Yasodhara melahirkan, dari mulut Siddharta terucap kalimat, "Belenggu terlahir, ikatan terlahir." Karena ucapan ini maka putranya dinamai Rahula, yang artinya belenggu / beban.

Di usianya yang ke-29, Siddharta mulai menjauhi aneka hiburan terutama tari-tarian. Ayahnya kemudian merasa amat khawatir kalau-kalau niat anaknya menjadi pertapa sudah mulai muncul. Benar saja, begitu diminta jujur, Siddharta menjawab bahwa ia memang ingin menjadi pertapa untuk mencari jawaban, mencari obat untuk menyembuhkan segala penyakit, usia tua, kematian, dan terutama penderitaan. Tapi kalau Raja Suddhodana punya obat untuk itu semua, ia takkan meninggalkan istana. Raja Suddhodana jelas tidak bisa memenuhi keinginan Siddharta tapi ia juga tidak mau anaknya pergi. Karena itu malam harinya Siddharta merencanakan sebuah rencana untuk kabur.
Malam itu, ia meninggalkan Yasodhara dan Rahula yang masih terlelap, membangunkan Channa lalu pergi dari istana. Dari situ ia menuju Magadha, kemudian ia memotong rambutnya, melepas segala atribut kebangsawannanya dan menyuruh Channa kembali ke Kapilawastu untuk mengembalikan benda-benda itu pada ayah dan istrinya. Siddharta sendiri kemudian mengembara dan mulai hidup sebagai rahib peminta-minta (sekarang tradisi meminta makanan ini masih dilakukan oleh para bhikku dengan nama Pindapata). Ia juga berguru kepada banyak brahmana, namun brahmana-brahmmana inipun tidak bisa menjawab pertanyaannya mengenai kebebasan dari samsara (penderitaan).

Siddharta kemudian mencoba cara lain seperti Tapabrata, bertapa tanpa makan dan minum untuk waktu yang lama sambil berjemur di panas terik saat siang atau berendam di sungai waktu malam. Di kisah-kisah Weda dan Purana, para pelaku tapabrata kadang berakhir sebagai ‘tulang-belulang yang dihinggapi arwah penasaran’ sampai dewa datang memulihkan raga para pelaku tapa. Dalam kasus Siddharta, itu tidak terjadi :3 . Ia malah nyaris tewas kalau tidak ditolong seorang anak gembala yang memberinya susu kambing karena tubuhnya sudah sedemikian kurusnya. Para brahmana ortodox pada zaman itu menolak bersentuhan dengan Sudra, tapi Siddharta tidak mau seperti itu. Hal ini diperparah setelah Siddharta menerima pemberian bubur susu dari seorang anak petani bernama Nandabala dan ibunya Sujata. Siddharta kemudian mulai makan teratur sampai kesehatannya pulih dan para teman-teman brahmananya kemudian men"cap"nya sebagai orang rakus lalu mulai menjauhinya.

Setelah kesehatannya pulih, Siddharta mulai kembali bermeditasi, kali ini di bawah pohon bodhi (Ficus religiosa). Kali ini prinsip Siddharta adalah  mengabaikan segala gangguan luar dan mengabaikan semua pemikiran duniawi. Bukan perkara mudah sebenarnya, karena ada banyak imajinasi-imajinasi duniawi melintas di kepalanya dan ada juga ... Mara.

“Dengan seribu tangan, yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekkhala,
Mara bersama pasukannya meraung menakutkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan dana dan paramita yang lainnya
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.”

Mara adalah sosok makhluk personifikasi dari nafsu duniawi. Sebagian bhikku menganggap bahwa Mara tidak nyata, hanya sebuah personifikasi tapi sebagian lagi mengganggap Mara adalah makhluk supranatural yang benar-benar ada. Dikisahkan Mara meneror Siddharta dengan pasukannya yang terdiri dari sekumpulan makhluk mengerikan, tapi Siddharta tidak gentar. Mara kemudian mencoba mengirimkan putrinya yang menyamar sebagai Yasodhara tapi gagal juga, pada akhirnya Mara benar-benar ‘marah’ dengan menyerang langsung Siddharta dengan senjatanya tapi akhirnya gagal. Senjatanya hancur, gajah tunggangannya malah berlutut di depan Siddharta dan seluruh dewa-dewa kahyangan malah turun dan siap menghajarnya. Mara pun akhirnya menghilang. untuk sementara waktu, dan Siddharta telah menjadi seorang Buddha, di usianya yang ke-35 tahun.

Setelah menjadi Buddha, Siddharta bertemu dengan lima rekannya yang dulu sempat menjulukinya pertapa rakus. Kelima brahmana ini dibuat terkejut dengan penampilan Siddharta yang ‘berbeda’ dan bertanya kepada siapa Siddharta berguru. Siddharta menjawab bukan dengan siapa-siapa selain dirinya sendiri. Ia memproklamirkan dirinya sebagai seorang Buddha dan mengajak lima orang rekannya itu membentuk sangha (persaudaraan).

Sangha ini mulanya hanya terdiri dari 6 orang, namun lama kelamaan berkembang menjadi banyak. Sang Buddha kemudian mengajari para bhikku ini delapan jalan untuk melenyapkan penderitaan :
1. Pengertian Yang Benar (sammä-ditthi)
2. Pikiran Yang Benar (sammä-sankappa)
3. Ucapan Yang Benar (sammä-väcä)
4. Perbuatan Yang Benar (sammä-kammanta)
5. Pencaharian Yang Benar (sammä-ajiva)
6. Daya-upaya Yang Benar (sammä-väyäma)
7. Perhatian Yang Benar (sammä-sati)
8. Konsentrasi Yang Benar (sammä-samädhi)

Dan Pancasila (bukan Pancasila dasar negara Republik Indonesia) sebagai sumpah moralnya :
1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
2. Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan)guna mencapai samadi.
3. Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga)guna mencapai samadi.
4. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar /berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong (nilai kejujuran)guna mencapai samadi.
5. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan)guna mencapai samadi.

Mereka yang telah mencapai kesempurnaan (kesadaran) tertinggi setelah Buddha disebut telah mencapai arahat (kesempurnaan). Yang unik, murid kesayangan sekaligus asisten Buddha yakni Ananda, baru mencapati tahap arahat pasca wafatnya Sang Buddha.

Setiap nabi atau orang bijak selalu ‘dikasih’ pengkhianat. Yesus dengan Yudas Iskariotnya dan Buddha dengan Devadatta.
Kali ini Devadatta kembali lagi, awalnya sebagai seorang bhikku, murid Sang Buddha, tapi kemudian Devadatta yang awalnya sudah arogan, sangat cemburu karena tidak diberi ‘jabatan’ penting. Buddha malah menunjuk dua orang bhikku yang masih baru bernama Sariputta dan Moggallana untuk menjadi pengikut utamanya (calon penerus). Karena itu Devadatta pun meninggalkan Sangha (komunitas para Bhikkhu dan Bhikkhuni) dan berteman dengan pangeran Ajatasattu, anak dari Raja Bimbisara. Sang pangeran membangun sebuah vihara pribadi untuk Devadatta. Devadatta kemudian membujuk pangeran untuk membunuh ayahnya, Raja Bimbisara, agar sang pangeran dapat menjadi raja. Sang pangeran mengikuti skema jahat Devadatta dan tidak memberi ayahnya makan hingga tewas lalu Ajatasattu menjadi raja.

Karena sekarang Devadatta merasa sangat berkuasa karena raja yang baru adalah teman dan pendukungnya, ia memutuskan untuk membunuh Sang Buddha untuk mengambil alih sangha. Suatu malam, ketika Sang Buddha sedang berjalan di bukit berbatu, Devadatta mendorong jatuh sebuah batu besar untuk membunuh Sang Buddha. Tetapi batu itu tiba-tiba terpecah-bilah dan hanya sebagian kecil dari batu itu yang tajam yang melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kembali ke vihara dan dirawat oleh seorang tabib terkenal, Jivaka.

Untuk mengesankan para Bhikkhu dan Bhikkhuni lain dan juga mengganggu Sangha, Devadatta meminta Sang Buddha untuk membuat peraturan (tata krama) yang lebih ketat untuk Sangha. Devadatta meminta agar para Bhikkhu tidak diijinkan tidur di rumah atau makan daging. Tetapi Sang Buddha menolak proposal Devadatta. Sang Buddha berkata: "Jika beberapa Bhikkhu hendak tidur di luar rumah atau tidak memakan daging, mereka bebas melakukannya. Tetapi jika mereka tidak ingin hidup dalam cara demikian, mereka juga tidak harus melakukannya." Akhirnya, Sang Buddha berkata:
"Devadatta, jika kamu ingin memecah Sangha, kamu akan memetik buah kejahatan."
(Buddha Gautama)

Devadatta mengabaikan peringatan Sang Buddha, dan pergi memimpin sekelompok Bhikkhu dan membuat dirinya pemimpin dari kelompok Bhikkhunya. Suatu hari, ketika Devadatta sedang tidur, pengikut utama Sang Buddha yang bernama Sariputta datang dan memperingati para Bhikkhu mengenai konsekuensi dari tindakan jahat. Para Bhikkhu itu kemudian menyadari kesalahan mereka dan kembali kepada Sang Buddha. Bagaimanapun juga, banyak diantara mereka telah dibawa pulang kembali oleh Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera. Kemudian, Devadatta jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama sembilan bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana.

Mendengar kabar bahwa Devadatta akan tiba, Sang Buddha berkata kepada murid-murid-Nya, bahwa Devadatta tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk menemui-Nya. Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah.

Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi. Devadatta tidak memiliki kesempatan untuk melihat Sang Buddha, karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan terhadap Sang Buddha. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici (Avici Niraya), tempat yang penuh dengan penyiksaan terus menerus.

“Sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir.'

Setelah hal ini diucapkan, Sang Bhagava berkata kepada māraṃ pāpimantaṃ (Mara papima): "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu. Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena (tiga bulan lagi) Sang Tathagata akan Parinibbana.”
(Mahaparinibbana Sutta)

Usia tua Buddha Gautama sama seperti orangtua pada umumnya. Ketahanan tubuhnya sudah tidak bagus dan aneka penyakit sering menyerang dirinya. Itu masih belum ditambah gangguan dari Mara, yang bolak-balik membujuknya untuk segera paranibbana (meninggalkan dunia). Meski begitu, Buddha Gautama tetap berkotbah dan mengajar dengan dibantu oleh Ananda – bhikku asistennya yang paling setia. Ia juga menyempatkan diri melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh untuk mengajar meski usianya tidak muda lagi.

“Aku telah mambabarkan kebenaran tanpa perbedaan apa pun; karena demi kebenaran, tidak ada yang disembunyikan dalam ajaran Buddha... Adalah mungkin, Ananda, bahwa beberapa di antara kamu, akan timbul pikiran, 'Kata-kata Sang Guru akan segera berakhir; sebentar lagi kita tidak akan memiliki seorang guru.' Tapi jangan berpikir seperti itu, Ananda. Bila Aku telah pergi, ajaran dan aturan disiplin-Ku-lah yang akan menjadi gurumu.”
(Mahaparinibbana Sutta)

Tiga bulan sebelum kematiannya, Buddha Gautama mengumpulkan semua bhikku untuk menyampaikan pesan-pesan terakhirnya. Ia mengumpulkan para bhikku di suatu tempat di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Buddha pun Parinibbana.

Ajaran Buddha kini dikenal sebagai salah satu religi dengan pengikut lumayan besar dan disebut Buddhisme. Saat ini di dunia ada beberapa mazhab Buddhisme yakni :
1. Theravada – terutama tersebar di Asia Tenggara.
2. Mahayana – dulu merupakan agama dominan di Sumatra pada zaman Sriwijaya dan di Jawa pada masa Mataram Kuno. Saat ini rata-rata pengikutnya ada di India dan Sri Lanka.
3. Tantrayana / Vajrayana – penganutnya tersebar di Nepal dan Tibet.
4. Zen – biasanya ada di Jepang, termasuk mazhab unik karena mengizinkan biksunya berumahtangga tanpa harus melepas jubah.

==DALAM AGAMA HINDU==
“Di masa ini, Zaman Kali (kegelapan), Dewa Wisnu menjelma sebagai Gautama, seorang Shakyamuni, dan mengajarkan dharma Buddha selama sepuluh tahun. Kemudian Shuddhodana memerintah selama dua puluh tahun, dan Shakyasimha selama dua puluh tahun. Pada tahap pertama Zaman Kali, jalan Weda telah dihancurkan dan seluruh orang menjadi umat Buddha. Orang-orang yang mencari perlindungan kepada Wisnu telah menjadi sesat.”
(Bhagavata Purana, 1 : 3)

Para brahmana ortodox cenderung akan menerjemahkan teks di atas secara harafiah dengan mengatakan bahwa Wisnu menjelma menjadi Buddha untuk menyesatkan manusia. Tapi brahmana yang lebih moderat mengatakan bahwa kehadiran Buddha Awatara adalah untuk menyelesaikan ‘reformasi’ yang dibawa oleh Kresna Awatara.

Kresna sendiri ‘agak tidak setuju’ dengan sistem caturwarna yang sering disebut juga sebagai kasta. Sistem ini pada awalnya ditujukan untuk menggolongkan masyarakat sesuai profesi dan perannya yakni brahmana (para guru dan cendikia), kesatria (para elit pemerintahan dan prajurit), waisya (pedagang, peternak, petani yang memiliki lahan), dan sudra (para pegawai). Namun setelah sekian lama kaum brahmana dan kesatria meng-elit-kan diri dan mulai bersikap tidak menyenangkan kepada dua kasta lainnya. Kresna sendiri tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu namun apa yang dia sampaikan dalam Bhagawad Gita belum terlalu berefek luas sehingga dalam kesempatannya menjadi Buddha, ia hendak menyelesaikan ‘reformasi’ itu.

Buddha Awatara sendiri adalah satu-satunya awatara yang benar-benar konsisten menjalankan prinsip ahimsa – tanpa kekerasan – seumur hidupnya.

Penetapan Buddha sebagai awatara banyak mengundang kontroversi. Tidak hanya dari para brahmana dan umat Hindu ortodox, tapi juga dari para bhikku Buddhis itu sendiri.

Tahun 1999, dalam forum Masyarakat Maha Bodhi (Masyarakat Buddha Asia Selatan), para bhikku dan brahmana yang berkumpul di sana mengeluarkan tiga fatwa :
• Karena alasan tertentu beberapa sastra yang ditulis di India pada zaman dahulu menganggap Buddha sebagai reinkarnasi Wisnu dan berbagai anggapan keliru mengenai Beliau, hal ini sangat tidak menyenangkan. Dalam upaya mengembangkan hubungan yang lebih akrab antara umat Hindu dan Buddha kami memutuskan bahwa apapun yang terjadi pada masa lalu mesti dilupakan dan keyakinan tersebut tidak boleh disebarkan.
• Untuk menghapus kekeliruan ini selamanya, kami mengumumkan bahwa baik Weda maupun Samana merupakan tradisi kuno di India (Wisnu termasuk tradisi Weda sedangkan Buddha termasuk tradisi Samana). Usaha yang dilakukan suatu tradisi untuk menunjukkan bahwa ia lebih mulia dibandingkan tradisi lainnya hanya memupuk kebencian dan sakit hati antara keduanya. Maka dari itu hal tersebut tidak boleh dilakukan untuk selanjutnya dan dua tradisi harus saling menghormati dan menghargai.
• Siapa pun mampu mencapai derajat tinggi di masyarakat dengan cara melakukan perbuatan baik. Seseorang mendapat derajat yang buruk di masyarakat jika melakukan perbuatan buruk. Maka dari itu siapa pun yang melakukan perbuatan baik dan melenyapkan niat kotor seperti nafsu, amarah, kebodohan, ketamakan, kecemburuan, dan ego dapat mencapai derajat tinggi di masyarakat dan menikmati kedamaian dan kebahagiaan.

Pasca fatwa ini keluar, banyak brahmana yang mengganti ajarannya mengenai Dasa Awatara. Awatara kedelapan diganti dengan Balarama (Baladewa) Awatara sementara Awatara Kesembilan diganti dengan Kresna Awatara.

==BUDDHISME DI NUSANTARA==
Di Nusantara abad 13-15, Buddhisme Mahayana berkembang pesat, berdampingan dengan Hindu Siwa. Tapi dua hal yang berbeda biasanya sedikit banyak pasti akan berkonflik dan untuk meredam konflik itu, seorang pujangga bernama Mpu Tantular mengusulkan sebuah slogan pendekatan dalam Kakawin Sutasoma : “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Terpecah belah tapi satu jua, sebab tak ada dharma – kebenaran – yang mendua).

Teks lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”

Terjemahan (versi Dr Soewito Santoso):
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.”

Semenjak itu Hindu Siwa – Buddhisme dianggap sebagai dua sekte berbeda dalam satu religi yang sama. Kedekatan ini kemudian melahirkan sebuah agama sinkretis bernama Siwa-Buddha di mana masih ada pemujaan terhadap dewa-dewi namun prinsip-prinsip Buddhisme ada di dalam ajarannya. Siwa-Buddha sering disebut ‘Buda’ saja.

Pasca kemerdekaan Indonesia dan pemerintahan Presiden Soekarno mengadakan sensus penduduk. Penduduk Tengger mengaku diri beragama ‘Buda’ dan sampai tahun 1960-an kesalahpahaman bahwa mayoritas penduduk Tengger beragama ‘Buddha’ masih terus berlangsung. Baru setelah pemerintahan berganti, para pemuka agama dari 5 agama berunding dan memutuskan bahwa mayoritas masyarakat Tengger punya tatacara beribadat yang cenderung mirip dengan agama Hindu.

Sisa-sisa penganut Siwa-Buddha juga masih bisa kita temukan di desa Budakeling, Bali. Prinsipnya secara sederhana begini : di sini ada rupang (arca) Buddha Gautama dan rupang (arca) Dewa Siwa. Berdua mereka sama-sama dipandang sebagai manifestasi Yang Maha Esa. Silakan sembahyang di depan rupang yang mana saja, tidak masalah.

• Pada saat ini, mayoritas penganut Buddhisme di Indonesia (40-60%) adalah Buddha mazhab Theravada.
• Ada perbedaan besar antara kata ‘Buda’, ‘Budha’, dan ‘Buddha’. Buda adalah agama sinkretis Hindu Siwa dan Buddhisme, Budha adalah nama dewa dalam agama Hindu, sementara Buddha sendiri adalah gelar Siddharta Gautama sekaligus nama ajarannya.
• Buddha adalah satu-satunya awatara yang secara teguh memegang prinsip ‘ahimsa’ – tanpa kekerasan. Ia hanya diketahui pernah satu kali marah, yakni kepada Devadatta saat Devadatta hendak memecah Sangha.
• Meski ditunjuk sebagai penerus, Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera meninggal lebih dulu daripada Buddha.

AWATARA KEENAM - PARASURAMA AWATARA

AWATARA KEENAM – PARASURAMA AWATARA

Nama lain : Rambhadra, Ramabargwa, Bregupati, Rama Bhargawa, Ramaparasu
Arti Nama : Rama Yang Membawa Kapak (Ramaparasu), Rama Sang Keturunan Maharsi Bhregu (Rama Bhargawa).
Ras : Manusia Awatara (Awatara Wisnu), Chiranjiwin (Kaum Abadi).
Masa Kemunculan : Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga
Senjata : Parasu (Kapak) dan Busur Vijaya
Pasangan : Dharini
Profesi : Brahmana
Lawan Utama : Warna Kesatria, terutama Arjuna Sasrabahu.

Ada seorang Rsi yang menjadi bagian dari tujuh Sapta Rsi bernama Jamadagni. Jamadagni telah memiliki empat putra namun suatu ketika istrinya hamil putra kelimanya, Jamadgani dan istrinya, Renuka, mendapat pesan dari Batara Siwa bahwa Batara Wisnu akan menitis kepada putra kelima mereka. Putra kelima mereka ini dinamai Rama atau Ramabhadra.

Sebagai istri brahmana yang tergabung dalam Sapta Rsi, Renuka memiliki kemampuan untuk memadatkan tanah liat yang masih basah dan belum dibakar menjadi pot tembikar untuk menampung air. Namun suatu saat hendak mengambil air di sungai, ia terpesona melihat sekawanan gandarwa , satu pikiran untuk ‘serong’ dengan para gandarwa langsung melintas di pikiran Renuka. Akibatnya kendi air di tangannya langsung meleleh dan larut dalam air. Renuka pun ketakutan dan tidak berani pulang karena ia tahu suaminya pasti akan marah besar padanya.

Jamadagni tidak perlu waktu lama untuk tahu perbuatan istrinya itu. Dalam meditasinya, lintasan pikiran Renuka masuk ke dalam pikirannya. Dengan kekuatannya, Sang Rsi memaksa sang istri pulang lalu memanggil putra sulungnya dan menyodorkan sebuah kapak kepadanya. “Bunuh ibumu dengan kapak itu!” kata Jamadagni.

Sang putra sulung ketakutan dan menolak perintah sang ayah, dan sebagai akibatnya ia dikutuk menjadi batu. Putra kedua, ketiga, dan keempat juga dipanggil dan diberi perintah serupa, dan semuanya menolak. Akhirnya empat putranya pun berubah menjadi batu. Sampai akhirnya Rama mengambil kapak itu dan tanpa ragu memenggal kepala ibunya.

Jamadagni terkesan oleh kepatuhan Rama sehingga menawarinya untuk mengabulkan dua permintaan Rama. Rama hanya meminta sang ayah menghidupkan kembali ibu dan empat kakaknya. Kemudian dengan senang hati Jamadagni mengabulkannya.

***
Meskipun merupakan awatara Wisnu, Rama dan ayahnya termasuk brahmana sekte Shaivanism (Siwaisme) yang lazim hidup bertapa, menyendiri di tengah hutan atau pegunungan, makan seadanya dari hutan, dan melumuri tubuh mereka dengan abu. Ketika sudah cukup usia, Rama meninggalkan rumahnya untuk bermeditasi pada Siwa. Setelah melakukan tapa selama bertahun-tahun Siwa datang menemuinya, memberinya sebuah kapak yang tak dapat dihancurkan oleh apapun bernama Parasu (Parashu). Lalu memberi perintah pada Rama untuk membebaskan Ibu Bumi dari penjahat, orang-orang serakah, iblis, dan orang-orang yg meninggalkan ajaran Dharma.

Kemudian selama 21 hari Siwa menantang Rama untuk bertarung. Selama 21 hari itu pula murid dan guru itu saling tebas dan serang. Siwa dengan trisulanya, Rama dengan Parasunya. Di hari ke-21 Rama berhasil melukai dahi Siwa dengan kapaknya dan pertarungan pun dihentikan. Siwa sangat puas dengan kecakapan muridnya itu dan sejak saat itu menamai diri-Nya ‘Khanda-parshu’ (Yang dilukai oleh kapak) sebagai wujud penghormatan Siwa pada Rama. Nama Rama sendiri kemudian berubah menjadi Parasurama.

****
Ada seorang raja dari ras Yadu, bernama Kartavirya Arjuna atau Arjuna Sasrabahu – Arjuna yang bertangan seribu. Raja ini menguasai wilayah Mahespati (atau Halaya di versi India). Awalnya raja ini adalah raja yang bijak dan perkasa. Raja ini bahkan sempat mengalahkan Rahwana muda dan memaksa Rahwana untuk tidak mengekspansi negara lain lagi.

Tapi kemudian raja ini menjadi ‘gila hormat’ dan merasa tak ada satupun yang lebih sakti dari dirinya. Dalam kunjungannya ke asrama (pertapaan) Rsi Jamadagni, Sang Raja disuguhi aneka hidangan nikmat ala istana oleh Sang Rsi dalam kuantitas yang tidak main-main. Penasaran dari mana Sang Rsi mendapatkan hidangan sebanyak dan semewah itu padahal hidupnya amat sederhana, Jamadagni mengatakan bahwa ia mendapatkannya melalui perantaraan sapi Kamadhenu (Sapi ini adalah sapi pengabul segala kehendak yang keluar pada saat Samudra Manthan yang diberikan oleh Batara Wisnu (atau Indra, tergantung versinya) kepadanya. Arjuna Sasrabahu menginginkan sapi itu. Ia hendak membeli sapi itu, tapi Jamadagni menolaknya. Sang raja terus membujuk dan menaikkan tawarannya tapi Jamadagni tetap kukuh bahwa sapi pemberian Bhatara Wisnu itu tidak dijual.

Karena kesal tawarannya ditolak, Sang Raja lalu membawa sapi itu secara paksa dari asrama Rsi Jamadagni. Dan tak berapa lama kemudian Parasurama kembali ke pertapaan ayahnya dan mendapati sapi Kamadhenu tak ada lagi di rumah ayahnya. Ketika Parasurama bertanya ke mana perginya sapi itu, ayahnya menjawab bahwa Raja Arjuna Sasrabahu membawanya. Marah atas perilaku Sang Raja yang seenaknya, Parasurama berlari ke istana Sang Raja dengan niat merebut kembali sapi suci itu.

Arjuna Sasrabahu tidak mau mengembalikan sapi itu begitu saja dan menantang Parasurama untuk bertarung. Parasurama memanah satu-demi-satu seribu tangan Arjuna lalu memenggal kepala Sang Raja kemudian membawa pulang sapi Kamadhenu ke pertapaan ayahnya. Ayahnya senang sapinya kembali, tapi melihat ada noda darah di kapak anaknya, Jamadagni berkata, “Tidak layak Brahmana dikontrol oleh amarah dan kesombongan. Sucikan dirimu segera, Rama.”

Maka Parasurama pun kembali meninggalkan rumahnya, mengasingkan diri selama satu tahun untuk menyucikan diri. Di pengasingan ini, Indra menghadiahinya busur Wijaya sebagai hadiah atas keberaniannya menantang Arjuna Sasrabahu. Tapi di saat yang sama, anak-anak Arjuna Sasrabahu yang menemukan jenazah ayah mereka menjadi luar biasa marahnya. Mereka segera menyerbu pertapaan Jamadagni dan membunuh Sang Rsi dengan menembakkan ratusan anak panah. Jamadagni pun tewas. Anak-anak Arjuna Sasrabahu pun memenggal kepala Jamadagni dan membawanya ke istana mereka sebagai tropi kemenangan.

Ketika Parasurama kembali dari pengasingannya, ia menemukan ibunya tengah berduka dan meratapi kematian ayahnya sambil memukul-mukul dadanya sebanyak 21 kali. Di samping ibunya, teronggok jasad Jamadagni yang tanpa kepala. Parasurama pun menjadi sangat sakit hati atas kepongahan warna (kasta) kesatria dan bersumpah akan membantai seluruh kaum kesatria dalam pembantaian yang akan dia lakukan sebanyak 21 kali keliling dunia.

***
“Pada masa antara Treta dan Dwapara Yuga, Parasurama, sang pejuang terhebat, terusik oleh ketidaksabarannya menyaksikan segala kepongahan kaum kesatria, berulang kali membantai kaum kesatria. Ketika ia selesai dengan aksi pembantaiannya, ia telah menciptakan Samanta-panchaka, lima danau besar berisi darah.

Parasurama membantai seluruh raja yang ada di dunia ini tanpa pandang bulu. Ia tidak peduli apakah raja-raja ini masih muda atau sudah tua, apakah raja ini punya pewaris atau tidak punya pewaris, atau apakah raja ini dicintai rakyatnya atau malah dibenci rakyatnya. Pokoknya nyaris tidak ada dinasti kerajaan yang ‘selamat’ dari amukan Parasurama. 

Korban pertama dari perjalanan Parasurama ini adalah anak-anak Arjuna Sasrabahu. Setelah membunuh anak-anak ‘kurang ajar’ ini ia membawa kembali kepala ayahnya ke pertapaan dan melakukan upacara pembakaran jenazah lalu melanjutkan perjalanannya.

Setelah 21 kali mengelilingi dunia, Parasurama mengadakan sebuah upacara agung yang intinya menyatakan bahwa raja-raja yang tersisa wajib menyerah dan menyatakan kesetiaan kepada Parasurama. Yang tidak mau, dipersilakan mengalahkan Parasurama. Sebagian raja tidak mau mengakui seorang brahmana sebagai Maharaja mereka, dan akhirnya tewas saat bertarung dengan Parasurama. Raja-raja yang tersisa akhirnya menyatakan diri sebagai bawahan Parasurama. Parasurama sendiri kemudian membagi-bagikan wilayah taklukannya di antara para brahmana sebelum akhirnya mengundurkan diri untuk bertapa kembali di Pegunungan Mahendra.

***
Ada satu dinasti yang selamat dari amukan Parasurama, yakni Dinasti Surya (Kerajaan Ayodhya). Entah bagaimana dinasti ini tidak kena utak-atik dari Parasurama.
Hingga akhirnya Parasurama dipertapaannya mendengar suara gemuruh yang maha dasyat menggelegar saat seorang pangeran dari Kerajaan Ayodhya bernama Rama mematahkan busur Haradhanu milik Siwa yang dimiliki oleh Raja Mithila, Janaka, saat tengah mengadakan sayembara untuk mencari suami bagi putri angkatnya Sita.

Parasurama langsung naik darah. Ia menyangka ada lagi kaum kesatria yang telah lancang sok pamer kekuatan di dunia ini. Langsung saja ia turun gunung dan menghadang Rama yang sedang dalam perjalanan pulang ke Ayodhya bersama Sinta, adiknya Laksmana, dan seorang Sapta Rsi Wiswamitra. Wiswamitra memohon agar Parasurama kembali lagi ke pertapaannya dan berusaha keras meyakinkan Parasurama bahwa Rama sama sekali tidak punya maksud ‘pamer kekuatan’ hanya saja busur Haradhanu milik Siwa tiba-tiba patah saat direntangkan oleh Rama.

Parasurama tidak percaya, ia melemparkan busur Wisnudhanu, busur yang dimilikinya sebagai awatara Wisnu kepada Rama dan menantangnya untuk menarik busur itu. Rama menarik busur itu tanpa kesulitan sementara kapak Parasurama tiba-tiba menjadi sangat berat. Parasurama pun langsung sadar bahwa dia bukan lagi awatara Wisnu. Rama sudah mengambil alih posisinya. Karena itu ia pun undur diri dan masuk kembali ke dalam hutan. Busur milik Wisnu itu diberikan pada Rama.

Parasurama adalah awatara Wisnu paling unik karena ia adalah Chiranjiwin (kaum abadi). Ia terus hidup sampai era Dwapara Yuga, di mana kisah Mahabaratha akan terjadi. Di masa ini ia menjadi guru dari seorang pangeran Wangsa Kuru bernama Bhisma. Di masa ini kebenciannya terhadap kaum kesatria sudah hilang. Tapi ada satu masalah yang kemudian membuat hubungan guru-murid ini retak.

Permasalahannya ... Bhisma pernah dengan sengaja memenangkan sayembara memperebutkan putri dari kerajaan seberang yakni Amba, Ambalika, dan Ambika untuk diperistri adiknya.
Hingga akhirnya Ambika meminta bantuan dari Parasurama. Karena Bhisma sudah "menghina"nya.
Parasurama  dan Bhisma saling baku hantam selama 23 hari dan pada akhirnya Bhisma yang menang (Bhisma saat itu adalah manusia awatara dari Dyaus sementara Parasurama sudah bukan lagi manusia awatara). Kesal dengan perilaku Bhisma, Parasurama bersumpah tidak akan pernah mau lagi mengajar murid dari golongan kesatria.

***
Drona, seorang brahmana yang kelak akan menjadi guru para Kurawa dan Pandawa suatu saat bertemu dengan Parasurama dalam sebuah perjalanan. Drona menyatakan bahwa ia butuh pengetahuan tentang segala jenis senjata yang diketahui Parasurama. Karena Drona seorang brahmana, Parasurama akhirnya mengajari Drona segala jenis teknik beladiri dan penggunaan senjata baik senjata biasa atau astra (Brahmastra terutama). Ia juga memberi Drona semua senjata koleksinya kecuali kapak Siwa dan busur Wijaya dari Indra.

***
Radheya, putra sulung Kunti anugrah Bhatara Surya sekaligus kakak sulung Pandawa, diadopsi oleh kusir kereta kerajaan Hastina. Memiliki bakat alam sebagai pemanah handal, ia sempat minta diajari memanah oleh Drona tapi Drona menolak karena sudah terikat sumpah pada Bhisma dan Tua-Tua Hastina bahwa ia hanya akan mengajari para pangeran Hastina. Kesal karena penolakan Drona, Radheya mengembara mencari Parasurama dengan menyamar sebagai seorang brahmana. Parasurama senang sekali menerima ‘brahmana’ Radheya sebagai muridnya. Ia menganggap Radheya adalah muridnya yang paling cerdas dan cepat belajar. Tapi semua itu berubah saat suatu ketika Parasurama tengah tidur berbantalkan pangkuan Radheya . Saat itu seekor kalajengking menyengat kaki Radheya sehingga kaki Radheya berdarah dan darahnya menetes ke wajah Parasurama.

Parasurama terbangun dan langsung menginterogasi Radheya. Mulanya Radheya tidak mengaku tapi ketika Parasurama mendesak, ia mengaku bahwa ia memang bukan Brahmana.

Parasurama menghardik, “Cuma Kesatria yang bisa menahan rasa sakit disengat kalajengking seperti itu!”

“Guru, saya bukan kesatria. Saya hanyalah Suta, anak kusir.”

“Ah, sama saja! Kau menipuku! Karena kau sudah menipuku untuk mendapatkan pengetahuanku, kelak semua senjata dan kesaktianmu tak akan berguna di saat-saat kau sangat membutuhkannya!”

Tapi meskipun Parasurama marah besar pada Radheya, ia memberi Radheya pusakanya yang terakhir : Busur Wijaya dan astra bernama Bhagavastra.

Kutukan Parasurama terbukti. Menjelang dan di saat bertarung dengan Arjuna, kesaktian Karna menghilang satu demi satu. Dia bahkan tak bisa memanggil satupun astra miliknya di saat-saat terakhir. Karna sendiri akhirnya tewas terpenggal panah Pasopati Arjuna.

***
Diceritakan dalam Wisnupurana, Awatara terakhir Wisnu yakni Kalki Awatara akan berguru pada Parasurama guna mendapatkan senjata dari Siwa untuk mengalahkan Iblis Kali.

***
Parasurama juga ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan. Ia lebih terkenal dengan sebutan Ramabargawa. Selain itu ia juga sering dipanggil Jamadagni, sama dengan nama ayahnya.

Ciri khas pewayangan adalah jalinan silsilah yang saling berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah tentang Ramabargawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu antara lain menyebut tokoh ini sebagai keturunan Batara Surya. Ayahnya bernama Jamadagni merupakan sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati. Adapun Kartawirya adalah ayah dari Arjuna Sasrabahu alias Kartawirya Arjuna. Selain itu, Jamadagni juga memiliki sepupu jauh bernama Rsi Gotama, ayah dari Subali dan Sugriwa.

Dalam pewayangan dikisahkan Ramabargawa menghukum mati ibunya sendiri, yaitu Renuka, atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah karena Renuka telah berselingkuh dengan Citrarata raja Kerajaan Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan kemarahan dan rasa benci luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria.

Setelah menumpas kaum kesatria, Ramabargawa merasa jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan dunia. Atas petunjuk dewata, ia akan mencapai surga apabila mati di tangan titisan Wisnu. Adapun Ramabargwa versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan menitis kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh Ramabargawa.

Setelah lama mencari, Ramabargawa berhasil menemui Arjuna Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah kehilangan semangat hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri, dan istrinya, yakni Dewi Citrawati. Dalam pertarungan tersebut, Ramabargawa justru malah menewaskan Arjuna Sasrabahu.

Ramabargawa kecewa dan menuduh dewata telah berbohong kepadanya. Batara Narada selaku utusan kahyangan menjelaskan bahwa Wisnu telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Rama putra Dasarata. Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama dewasa. Beberapa tahun kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Rama yang sedang dalam perjalanan pulang setelah memenangkan sayembara Sinta. Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut, Ramabargawa akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar Batara Ramaparasu.

Pada zaman berikutnya, Ramaparasu bertemu awatara Wisnu lainnya, yaitu Kresna ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian utusan para Pandawa menuju Kerajaan Hastina. Saat itu Ramaparasu bersama Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna untuk ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam naskah Kakawin Bharatayuddha dari zaman Kerajaan Kediri.

Di Bali diceritakan bahwa ia dan Arjuna Sasrabahu sama-sama merupakan titisan Wisnu.

***
Dalam versi india mengisahkan,
Saat Maharsi Narada berkunjung ke Vaikuntha dan tanpa sengaja menemukan Cakram Sudarshana dengan Bhatara Wisnu sedang berselisih paham. Sang cakram yang memiliki kesadaran sendiri itu bilang bahwa Wisnu takkan bisa mengalahkan Asura manapun tanpa dirinya dan dirinyalah yang selama ini menjadi kekuatan Wisnu, tanpa dirinya Wisnu bukan siapa-siapa.

Tampaknya Wisnu menjadi agak sebal dengan tingkah senjatanya itu dan akhirnya menyuruhnya pergi ke dunia dan menitis menjadi seorang raja bernama Arjuna Sasrabahu. Wisnu sendiri berjanji kelak akan menyusul dan menitis kepada seorang putra brahmana. Setelah itu mereka akan baku hantam untuk menyelesaikan perdebatan mereka.

Arjuna Sasrabahu memang akhirnya bertemu Parasurama dan bertempur yang menyebabkan kekalahan bagi Arjuna Sasrabahu.

***
• Di Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam dan Kamboja, Parasurama bukanlah Awatara Wisnu yang populer. Apalagi di Nusantara – yang raja-rajanya ‘agak’ tidak mau dikritik dan disalahkan. Karena itu di Nusantara, Awatara keenam Wisnu diubah. Bukan Parasurama, tapi Arjuna Sasrabahu.
• Model pengakuan Awatara Keenam Wisnu adalah Arjuna Sasrabahu juga terasa di Bali, di mana ada kisah yang menceritakan baik Arjunasasrabahu maupun Parasurama sama-sama adalah awatara Wisnu – mengambil pendekatan seperti Nara dan Narayana, rsi kembar yang sama-sama Awatara Wisnu dalam versi 22 Awatara.
• Parasurama adalah awatara Wisnu paling ‘brangasan’ nomor dua setelah Narasinga.
• Parasurama dipercaya masih hidup sampai saat ini.
• Pasangan Parasurama yang bernama Dharini tidak pernah diceritakan mendampingi Parasurama saat Parasurama menjadi guru Bhisma, Drona, dan Karna. Kemungkinan besar istri Parasurama ini sudah meninggal lama sekali sebelum peristiwa Mahabaratha atau mungkin sebelum Ramayana.
• Setelah tak lagi menjadi awatara Wisnu, kekuatan Parasurama jauh berkurang meski masih cukup berbahaya untuk dihadapi para kesatria manapun yang ada di zaman itu.

AWATARA KELIMA – WAMANA AWATARA

Nama lain : Vamana, Aditya, Upendra, dan Triwikrama
Arti Nama : Si Pendek (Wamana), Putra Aditi (Aditya), Penguasa Tiga Dunia (Triwikrama), Saudara Lelaki Indra (Upendra)
Ras : Manusia Awatara (Awatara Wisnu).
Masa Kemunculan : Treta Yuga.
Senjata : Payung dan kendi air.
Lawan Utama : Mahabali.

Meskipun sudah mendapatkan Tirta Amerta, ada masanya para dewa mengalami kekalahan. Mahabali, Raja Asura yang sempat kena tipu Mohini pada masa Satya Yuga kini kembali untuk menantang para dewa. Dengan bantuan Sukracarya (salah satu Graha – penguasa Venus dan guru para Asura), ia memperoleh kekuatan dan pasukan yang cukup kuat untuk melawan Dewata kembali.  Indra dan Dewata lainnya yang merasa terdesak dinasehati untuk meninggalkan Swargaloka karena jika tetap tinggal, mereka akan benar-benar ditaklukkan Mahabali. Maka sekali lagi Dewata dipaksa meninggalkan kahyangan dan Mahabali pun mengangkat dirinya menjadi raja tiga dunia : dunia manusia, dunia dewa, dan dunia alam baka. Di dunia manusia, Mahabali meraih popularitas luar biasa di kalangan manusia oleh karena kemurahan hati dan keadilannya. Ia tidak memaksa manusia tunduk padanya dengan cara anarkisme seperti Raja-Raja Asura yang sebelumnya sehingga meskipun Raja Kahyangan bukan lagi Indra, sebagian besar manusia tidak protes.

Tapi tentu saja Indra yang diusir dari kahyangan tidak terlalu suka dengan kehadiran Mahabali. Ia sempat beberapa kali meminta para Trimurti ambil tindakan, tapi Wisnu belum mau ambil tindakan sampai tiba masanya ketika Mahabali sudah mulai merasa bahwa ia adalah entitas paling mulia, tak ada lagi makhluk yang lebih tinggi dari dirinya.

Saat itulah Wisnu menjelma melalui perantaraan Kashyapa dan Aditi, lahir sebagai putra Aditi, berwujud anak cebol yang kemudian menjadi brahmana seperti Kashyapa. Anak ini diberi nama oleh Aditi dan Kashyapa dengan nama Wamana, artinya ‘Si Pendek’.

Pada suatu ketika Mahabali mengadakan ‘open house’ dan mengundang segenap orang, terutama brahmana untuk bertandang ke istananya di Swargaloka. Wamana pun turut datang menemui Mahabali sambil membawa-bawa payung dan kendi air. Sukracarya – guru Mahabali – yang melihat kedatangan Wamana langsung kaget setengah mati. Ia lalu memperingatkan Mahabali dengan keras supaya Mahabali tidak memberikan apapun yang diminta Wamana.

Tapi Mahabali keras kepala. Dalam pandangannya, brahmana ini meskipun masih berwujud anak kecil (atau orang cebol) punya kharisma yang luar biasa. Mahabali menempatkan Wamana di tempat duduk kehormatan dan menanyakan apa permintaan Wamana.

“Apakah Paduka menginginkan tanah, emas, istana, atau gadis yang cantik?
Apakah menginginkan hewan gajah, kuda atau kijang?
Kami akan memberikan apa pun yang kami miliki yang diinginkan Paduka Brahmana,” tanya Bali.

Wamana menjawab pelan, “Kau telah berbicara penuh kerendahan hati, kebajikan dan kebangsawanan.  Sukra agung dan Brighu adalah Acaryamu, Gurumu. Prahlada Yang Agung adalah kakekmu, Wirocana Yang Dermawan adalah ayahmu. Aku yakin Raja tidak akan menarik mundur ucapanmu. Aku ingin tanah tiga langkah yang diukur oleh kakiku.”

Setengah kecewa karena sang brahmana kecil hanya meminta hal yang sepele baginya, Bali berucap, “Tentu saja Paduka masih anak-anak, bahasa anak-anak, permintaannya masih sederhana. Baik, Paduka tidak mau minta tumpukan emas dan hanya tanah tiga langkah? Aku pegang kata-kataku.”

Sambil tersenyum Vamana menjawab, “Aku menghargaimu Raja dermawan. Jika seorang manusia tidak bisa menaklukkan keinginan, semua hal di dunia tidak akan mencukupinya.”

Sekali lagi Sukracarya mewanti-wanti Mahabali, “Diriku mencintai semua Asura dan Raja Bali adalah murid terkasihku. Kamu telah gegabah Raja! Kau belum tahu soal langkah kaki Narayana! Memang menarik janji, membatalkan komitmen itu seperti menarik pohon dari tanah yang membuat cepat mengering dan jatuh. Akan tetapi dalam keadaan darurat Raja boleh ingkar janji. Raja belum tahu siapa sejatinya Brahmana kecil ini.”

Bali hanya menjawab, “Guru, dalam darahku mengalir darah nenek buyut Kayadhu yang suci, mengalir darah kakek Prahlada yang agung, diriku malu, merupakan keaiban untuk menarik perkataan. Kalaupun Brahmana ini adalah Narayana, maka pemberianku ini akan menjadi perbuatan mulia: memberi, telapak tangan menghadap ke bawah terhadap Narayana.”

Sukracarya pun menjadi marah dan akhirnya mengutuk Mahabali, “Raja telah merasa lebih bijak dariku. Aku kutuk sehingga kemuliaanmu segera punah.” Dan setelah itu Sukracarya pun pergi meninggalkan istana Mahabali.

Ketika kembali menemui brahmana kecil itu, Mahabali mendapat kejutan besar. Sesuatu yang ditakutkan oleh Sukracarya terjadi. Tubuh Wamana membesar dan terus membesar, wujud ini dinamakan Triwikrama. Kakinya konon bertambah menjadi tiga. Kaki pertamanya menutupi seluruh bumi, kaki keduanya menutupi seluruh kahyangan dan konon dari atas langit turun Baruna – dalam wujud naga – yang langsung melilit Mahabali dengan dibantu oleh Garuda.

“Belum tiga langkah, Raja,” kata Wamana.

Mahabali langsung tahu apa yang diminta oleh Wamana. Wamana memintanya untuk menyerahkan kembali hak kekuasaan Dewata pada para Aditya. Karena itu Bali berucap, “Diriku menyadari kesalahanku, aku berjanji dapat  memberikan semua milikku. Ternyata semuanya adalah milik-Mu. Terima kasih Narayana, hamba paham dengan menerima persembahan hamba, berarti semua kesalahan hamba telah diampuni. Terima kasih Narayana, biarlah langkah kaki ketiga-Mu, Engkau letakkan di kepala kami.”

Dan terjadilah demikian. Selanjutnya ada dua versi mengenai nasib Mahabali. Versi pertama menyatakan ia mati, versi kedua menyatakan ia tetap hidup. Tapi apapun versinya, semuanya bersepakat soal janji Wamana kepada Mahabali.

Mahabali adalah cucu Prahlada – putra Hiranyakasipu (lihat pembahasan Narasinga Awatara), karena itulah ia tidak seberingas Asura lainnya. Dan ketika Wisnu menyaksikan bahwa Bali tidak menentang otoritas kekuasaan Trimurti seperti pendahulu-pendahulunya, ia menjanjikan Bali akan terlahir kembali di Sutala – bagian dari Pratala (alam baka), dan pada Mahayuga selanjutnya ialah yang akan menjadi Indra. Untuk sementara di Sutala, ia menjadi asisten Batara Yama, mengurusi jiwa-jiwa orang mati.

• Ada sekte tertentu di India yang tidak mempercayai Wamana sebagai Awatara Wisnu melainkan Awatara Ganesha.
• Indra selalu berganti-ganti setiap Mahayuga. Indra pertama adalah Yajna, atau Wisnu sendiri. Baruna – penguasa lautan – pun dikatakan pernah menjadi Indra.
• Baruna punya dua wujud : wujud naga dan manusia. Tapi sebenarnya dia juga Aditya, dengan kata lain dia adalah ‘kakak’ dari Wamana dan Indra.
• Mahabali konon merupakan singkatan dari ‘Mahatma Bali’ yang artinya ‘Bali Yang Berjiwa Besar’.
• Mahabali adalah cucu Prahlada, dan dia termasuk dalam golongan Danawa.
• Narayana adalah nama lain Wisnu.

AWATARA KEEMPAT - NARASIMHA AWATARA


Nama lain : Narasinga, Narasingh, Narasimh
Arti Nama : Separuh Manusia (Nara) Separuh Singa (Simha)
Ras : Awatara Wisnu
Wujud : Manusia Berkepala Singa
Masa Kemunculan : Akhir Satya Yuga
Lawan Utama : Hiranyakasipu

Pada zaman ini, setiap orang berhak memuja Istadewata (Dewa Utama) –nya masing-masing. Ada yang memuja Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Bayu, Baruna, atau yang lainnya. Tetapi karena saudara lelakinya (Hiranyaksa) dibunuh oleh Wisnu beberapa tahun yang lalu, Hiranyakasipu menjadi sangat marah dan bersumpah tidak akan pernah memuja dewa yang namanya Wisnu, bahkan ia bersumpah akan melenyapkan Wisnu dan seluruh pemuja Wisnu dari kerajaannya.

Pemaksaan kehendak paling efektif dilakukan dengan anarki, hal itu dapat dilakukan kalau dirinya memiliki kesaktian. Maka Hiranyakasipu pun mulai bertapa dengan keras, memusatkan perhatiannya hanya kepada Bhatara Brahma selama bertahun-tahun. Brahma pun harus menepati hukum yang berlaku, di mana setiap makhluk yang melakukan tapa dengan sungguh-sungguh harus dikabulkan keinginannya.
Ketika Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan keinginannya, Hiranyakasipu menyatakan bahwa ia ingin diberikan kehidupan abadi yang tidak bisa mati dan tidak bisa dibunuh, Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain.

Tak hilang akal, Hiranyakasipu meminta anugrah agar dia tidak bisa dibunuh oleh dewa, manusia ataupun hewan, baik saat pagi siang maupun malam, baik saat ia berada di langit maupun berpijak di bumi, baik oleh api, air ataupun senjata, baik saat ia ada di dalam maupun luar kediamannya. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.

Setelah mendapatkan kekuatan itu, ia melarang semua orang di kerajaannya memuja dewa lain selain Siwa (dan Brahma), dan perintah itu juga hendak ia berlakukan juga bagi istrinya. Yang bernama Lilawati. Bhatara Indra yang tahu akan rencana Hiranyakasipu langsung mengevakuasi Lilawati dari istana Hiranyakasipu.

Ketika Bhatara Indra memberi perlindungan pada Lilawati, Lilawati tengah hamil tua dan beberapa waktu kemudian melahirkan seorang putra bernama Prahlada. Lilawati dan Prahlada tinggal dalam perlindungan dan ajaran Rsi Narada – brahmana pemuja Wisnu, salah satu dari tujuh Sapta Rsi.

Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Hiranyakasipu beberapa kali mencoba membujuk anaknya untuk meninggalkan Wisnu tapi Prahlada tidak mau. Mengetahui para dewa melindungi istri serta anaknya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri.

Kesal dengan sikap anaknya, Hiranyakasipu berkali-kali mencoba membunuh anaknya dengan berbagai metode : dijatuhkan dari tebing, ditebas, dipukuli, sampai dihantam dengan astra, tapi anehnya Prahlada ternyata tidak juga mati.
Setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu.
Saat ayah dan anak itu bertemu di istana Hiranyakasipu, Sang Raja Ashura menantang Prahlada.
Hiranyakasipu : “Katakan di mana aku bisa temukan Wisnu! Biar kutantang dia bertarung!”
Prahlada : “Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul.”

Mendengar jawaban itu, ia merasa diolok-olok dengan perkataan anaknya, hiranyakasipu sangat marah, mengamuk dan menghancurkan segala sesuatu didekatnya. Hiranyakasipu memukul salah satu pilar istananya hingga retak menjadi dua bagian. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan dari pilar yang seharusnya kosong, keluarlah sesosok manusia raksasa berkepala singa. Sosok ini memiliki empat tangan dan memanggul seekor naga di punggungnya. Dan sosok ini lah yang disebut Narasinga, Awatara Wisnu.
Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya sekaligus menghukum Hiranyakasipu atas perbuatannya.

Hiranyakasipu pun maju menyerang Narasinga. Pertarungan dua makhluk ini berlangsung sampai senja. Ketika senja mulai turun, Narasinga mencengkeram Hiranyakasipu, mendudukkannya di pangkuannya lalu mencabik-cabik perut Hiranyakasipu dengan kukunya. Tindakan ini membuat berkah dari Brahma tidak berlaku karena :
✔Narasinga bukan manusia, binatang, ataupun dewa. Ia adalah perwujudan ketiganya.
✔Hiranyaksipu dibunuh bukan saat pagi, siang, atau malam melainkan senja – peralihan dari siang menuju malam.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh dengan senjata, air, atau api melainkan oleh kuku Narasinga.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh di luar ataupun di dalam kediamannya, bukan pula di darat atau udara. Ia dibunuh di pangkuan Wisnu.

Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana.
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.

• Naga yang dipanggul Narasinga adalah Ananta Sesa. Pada kesempatan-kesempatan berikutnya Ananta Sesa setidaknya dua kali turut mendampingi penjelmaan Wisnu ke dunia, yakni sebagai Laksmana – saudara Rama – dan Baladewa – saudara Kresna.
• Narasinga adalah awatara Wisnu paling buas dan ‘brangasan’.

Dalam satu versi diceritakan : setelah membunuh Hiranyakasipu, ia lepas kontrol dan tak terkendali. (Aksi Narasinga baru berhenti setelah Siwa turun ke dunia dan bertempur melawan Narasinga)
Pembahasan selanjutnya...

AWATARA KETIGA - WARAHA AWATARA


“Kau mengatakan bahwa dirimu pembela para Ashura dan ingin membersihkan jalan Ashura dari duri yang melukainya. Aku kau anggap duri. Bukan, Aku bukan duri, Aku Maha Pembalas Kejahatan.”
–Waraha Awatara–

Ras : Awatara Wisnu
Wujud : Celeng / babi hutan
Masa Kemunculan : Akhir Satya Yuga
Lawan Utama : Hiranyaksa

Pada peristiwa di masa kemunculan Matsya Awatara, Banjir besar menerjang bumi dan menenggelamkan seluruh daratan. Tapi sebenarnya yang terjadi lebih parah daripada itu.

Konon bumi terjerumus ke dalam kekacauan Mahapralaya. Pada mulanya semuanya tenang dan damai sampai akhirnya Wisnu yang mulanya tertidur memunculkan sebuah sulur yang menunjang sebuah bunga teratai raksasa di ujungnya. Dari dalam bunga teratai itu munculah Brahma.

Brahma yang kaget dipanggil ‘mendadak’ seperti itu langsung menyaksikan yang ada di dunia ini hanya ada kekacauan. Kekagetan keduanya adalah ia duduk di atas bunga teratai raksasa yang pangkalnya tak terlihat, tak peduli seberapa jauhnya Brahma mencoba turun. Akhirnya Brahma menyerah mencari pangkal teratai itu dan memilih untuk melakukan tapa. Dalam tapanya Beliau mendapat ‘pesan’ dari Wisnu. “Brahma, waktunya Anda menciptakan kembali dunia dan segala isinya sekali lagi.”

Brahma kembali bertapa. Dalam tapanya ia memunculkan sepuluh Prajapati antara lain : Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Bhrigu, Daksa, Marici, Wasishta, dan Narada. Selain itu juga lahir entitas bernama Dharma dan Adharma. Lalu ia menciptakan pasangan Manu : Swayambhu Manu dan istrinya Satarupa. Swayambhu Manu, Prajapati, dan Brahma kemudian mulai mengukir isi bumi sekali lagi.

Tapi setelah beberapa lama, Brahma merasa ada yang ‘tidak beres’. Penciptaan berjalan amat lambat sehingga Brahma memanggil kembali Swayambhu Manu dan bertanya apa masalahnya sehingga pekerjaan Swayambhu terhambat.

Dan Sang Manu menjawab, “Saya bekerja sebagaimana Ayahanda perintahkan, tapi bumi sedang tenggelam!”

Brahma berpikir sejenak. Prajapati dan Manu jelas tidak cukup kuat untuk mengeluarkan bumi dari lautan. Akhirnya ia memutuskan untuk minta bantuan Wisnu. Dari lubang hidung Brahma keluarlah seekor celeng (babi hutan) sebesar kelingking Brahma. Celeng itu langsung membesar menjadi celeng raksasa, Waraha Awatara. Waraha kemudian mengangkat bumi dari dalam samudera dan terus menopangnya sampai daratan-daratan bumi benar-benar stabil.

Di antara para Prajapati ada seorang yang bernama Kashyapa. Kashyapa beristrikan 13 orang putri Daksha – yang notabene adalah saudaranya laki-lakinya. Setiap menjelang matahari terbenam, para Prajapati – termasuk Kashyapa – biasanya melakukan pemujaan pada Brahman (dalam wujud Trimurti), dalam hal ini Kashyapa hendak memuja Siwa.

Tiba-tiba salah satu istrinya, Diti, datang pada Kashyapa dan minta ‘dilayani di ranjang’. Kashyapa sih mau-mau saja melayani istrinya yang satu ini, tapi ia harus melaksanakan upacara pemujaan sehingga ia mengatakan, “Tentu Diti, tapi nanti. Ini waktu suci pemujaan.”

Tapi Diti tidak mau menunggu dan dalam benaknya timbul pikiran, “Idih, suamiku sok suci banget! Seberapa kuat sih suamiku bakal bertahan?”

Diti pun mengambil inisiatif ‘ganas’ sehingga Kashyapa pun ‘takluk’.

Kesalahan besar bagi Kashyapa dan Diti!
"Melakukan" saat suaminya hendak memuja Siwa menghantarkannya pada kutukan. Diti kemudian mengandung dan kelak akan melahirkan dua Ashura. Yang satu bernama Hiranyaksa dan yang satu lagi bernama Hiranyakashipu.

Ashura terkenal sekali dengan kekuatan mereka yang setara dewa dan hobi mereka yang suka berbuat onar. Ashura yang bisa mengontrol emosinya bisa saja menjadi dewa, tapi Hiranyaksa tidak termasuk salah satunya. Ia punya pemikiran “Untuk menjadi dewa, aku harus mengalahkan dewa-dewa dan merebut tahta mereka.”

Jadi itulah yang dia lakukan. Ia menghajar para dewa, minus Baruna, dan menaklukkan tiga dunia (Patala dan Naraka – alam baka, Swargaloka – kahyangan, dan Arcapada – dunia manusia).  Sampai ia menyadari bahwa ada empat dewa yang belum mengakui kehebatannya : Tiga Trimurti dan Baruna. Ia tidak mengacuhkan Baruna, Siwa tidak diketahui rimbanya, Brahma adalah kakeknya – jadi ia tidak mau melawannya, jadi satu-satunya Trimurti yang hendak ia tantang adalah Wisnu.

Ketika ia berkeliling mencari Wisnu, ia bertemu Baruna yang sedang dalam wujud ular raksasa dan menantangnya berkelahi. Baruna menolak berkelahi dan menyatakan bahwa lawannya yang sebanding dengannya adalah Wisnu. Ia menyuruh Hiranyaksa mencari Narada guna menanyakan keberadaan Wisnu.

Narada menunjukkan tempat Wisnu berdiam pada Hiranyaksa dengan ‘senang hati’, “Kamu ingin berkelahi dengan Wisnu? Dia sedang mengambil wujud Waraha, Celeng Raksasa. Dia sedang di Rasatala, sedang mengangkat bumi.”

Singkat cerita, Hiranyaksa ‘mengganggu’ Waraha yang tengah menopang bumi. Hiranyaksa menyatakan dirinya sebagai pembela Ashura dan hendak membersihkan jalan Ashura dari duri yang melukai mereka.

Wisnu langsung menggeram, “Aku sedang menjadi binatang buas maka Aku mendengar ocehanmu. Kau mengatakan bahwa dirimu pembela para Ashura dan ingin membersihkan jalan Ashura dari duri yang melukainya. Aku kau anggap duri. Bukan, Aku bukan duri, Aku Maha Pembalas Kejahatan. Sudah banyak sekali korban kejahatanmu. Sudah berulang kali kau menggunakan kekerasan dalam memaksakan kehendakmu. Kau telah menakut-nakuti manusia dengan menebar ancaman. Aku tidak suka kekerasan, tetapi Aku sedang mewujud menjadi binatang buas, mari bertarung! Saatnya kau mempertanggung-jawabkan kekerasan yang telah kau lakukan berkali-kali.”

Jadi dua makhluk itu pun bertarung. Saat mereka bertarung konon segala bencana terjadi di muka bumi. Ombak dan gelombang besar menggelora di seluruh samudra, gempa bumi di mana-mana, semua gunung meletus, dan topan mengamuk di berbagai tempat. Konon pertarungan ini berlangsung selama 1000 tahun sebelum akhirnya Hiranyaksa terbunuh oleh Waraha.

Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.

• Diti tidak pernah melahirkan anak-anak yang ‘beres’. Nyaris semua anaknya adalah Ashura dan nasib mereka selalu berakhir dengan dibunuh oleh Wisnu atau Dewata, kecuali anaknya yang terakhir. Berbeda sekali dengan saudarinya Aditi yang melahirkan para dewa golongan Adhitya.
• Pertarungan Waraha dengan Hiranyaksa adalah pertarungan Wisnu yang paling lama sebagai Awatara. Jadi boleh dikata, Hiranyaksa adalah salah satu Ashura paling kuat.
• Daksha – saudara Kashayapa – adalah ayah mertua Siwa.

AWATARA SIWA - SARABHA AWATARA


Nama Lain             : Sharabha, Sarabesvara
Arti Nama.            : Jiwa Yang Bersinar / Pembebas
Ras                        : Awatara Siwa
Masa Kemunculan : Akhir Satya Yuga
Lawan Utama        : Narasinga Awatara

Sarabha digambarkan sebagai sesosok makhluk yang memiliki karakteristik sama dengan Narasinga yakni makhluk campuran. Bedanya, jika Narasinga adalah separuh manusia – separuh singa, Sarabha adalah makhluk separuh singa-separuh burung. Penggambaran Sarabha bermacam-macam. Ada yang menggambarkan Sarabha sebagai burung raksasa bertangan singa, ada pula yang menggambarkannya sebagai makhluk bertubuh singa, berkepala burung garuda, dan berbelalai gajah. Selain itu ada juga yang menggambarkan Sarabha sebagai singa berkaki delapan, bertubuh manusia, dan berkepala burung.

Apapun penggambarannya, mereka semua sepakat bahwa Sarabha memiliki karakteristik gabungan singa dan burung pemangsa dan jelas sekali memiliki kekuatan yang cukup dahsyat untuk menandingi Narasinga Awatara.

Sarabha adalah awatara Siwa yang muncul pasca Narasinga Awatara mengalahkan Asura Hiranyakasipu. Saat menghabisi Hiranyakasipu, Narasinga meminum setiap tetes darah Hiranyakasipu dan mencabik-cabik jasad Asura itu menjadi serpihan-serpihan kecil kemudian mengalungkannya pada dirinya sendiri. Hal itu Narasinga lakukan supaya tidak ada lagi sisa-sisa tubuh fisik Hiranyakasipu yang melakukan kontak dengan semesta.

Tapi Wisnu yang mengambil wujud Narasinga itu rupanya telah lepas kontrol. Pasca menghabisi Hiranyakasipu, Narasinga melampiaskan amarahnya ke dunia manusia dan membuat kekacauan di mana-mana. Prahlada dan Laksmi kemudian muncul di hadapan Narasinga dan memintanya untuk tenang, tapi Narasinga tidak mengacuhkan mereka. Para dewa pun berusaha menghalangi Narasinga tapi upaya mereka juga tidak berhasil. Karena itu mereka memohon pada Siwa untuk memberikan bantuan kepada mereka.

Siwa sekali lagi mengutus Virabhadra untuk maju perang, tapi kekuatan Virabhadra ternyata tidak sebanding dengan Narasinga Awatara. Ketika tahu bahwa salah satu prajurit terbaiknya telah dikalahkan, Siwa turun ke bumi dan mengambil sosok separuh singa dan separuh burung bernama Sarabha. Dalam versi yang menyatakan bahwa Virabhadra adalah aspek lain Siwa, bukan makhluk ciptaannya, Siwa langsung mengambil rupa sebagai Sarabha setelah mendapati bahwa dalam wujudnya sebagai Virabhadra, Narasinga masih belum bisa dikalahkan.

Sarabha dan Narasinga pun bertemu dan pertarungan antara dua awatara penjelmaan kedua Trimurti itu pun tak terhindarkan. Delapan belas hari kemudian Narasinga takluk di hadapan Sarabha. Sarabha kemudian membunuh Narasinga Awatara guna mengembalikan jiwa Wisnu ke tempat asalnya yakni Vaikuntha. Versi lain menyatakan bahwa Narasinga langsung tersadar dari ‘kegilaannya’ dan langsung memuja Sarabha yang tak lain adalah Siwa.

• Dalam satu versi, Narasinga Awatara berubah rupa menjadi Gandaberunda – sosok makhluk buas berwujud burung berkepala dua – saat melawan Sarabha.

• Sarabha adalah satu-satunya perwujudan Awatara Siwa yang ‘penuh’, bukan hanya manifestasi sebagian kekuatannya semata seperti awatara-awatara sebelumnya.

• Pasca dikalahkan Sarabha, Wisnu tidak pernah lagi mengambil wujud awatara hewan (atau separuh hewan).

“Aku memberi hormat kepada Dewa Pertama yang adalah Brahman, insan terbaik, ayah semesta, yang teragung di antara para dewa, yang menciptakan Brahma dan memberikan seluruh kitab Veda kepada Brahma pada permulaan masa, yang adalah ayah Wisnu dan segala dewa, satu-satunya yang berhak dipuja, dan tetap ada ketika banjir besar menyapu dunia. Ia adalah yang lebih besar dari setiap insan manapun, insan terbaik dan penguasa segala makhluk.

Ia adalah Maheswara, ia mengambil bentuk sebagai Sarabha lalu membunuh Narasinga yang telah memporakporandakan dunia. Sarabha, dengan kuku tajamnya, mengoyak Wisnu yang tengah mengambil wujud Narasinga. Dia adalah yang telah mengambil rupa sebagai Veerabhadra.”

(Sarabha Upanishad, ayat 1-4)